The Dewi

The Dewi
(By Barzam Freetobe Hisself)

Perempuan cantik yang sering berada di depan rumahku itu tidak akan ada orang yang bisa menyangka bahwa sebenarnya dia itu gila. Tak ada satu pun yang tahu bahwa dia sebenarnya gelandangan sama sekali. Bahkan orang-orang yang tidak tinggal di daerahku, pasti justru akan menyangka bahwa dia adalah salah satu penghuni rumahku.
Perempuan itu tinggi semampai, rambutnya panjang dan terawat, tidak lusuh dan tampak hitam alami persis seperti bintang iklan sampo yang sering kutonton di TV. Pakaiannya juga tidak ketat, namun benar-benar sopan dan tidak tampak compang-camping layaknya gelandangan lainnya. Wajahnya juga nampak putih bersih, pokoknya kalau kamu melihatnya, pasti tidak akan tersirat sedikit pun bahwa dia tidak normal. Pada kenyataannya, itu yang kurasakan pertama kali ketika dia tiba-tiba muncul di depan rumahku. Kukira dia keponakan tetanggaku, tapi rupanya setelah kutanyakan pada tetangga, si tetangga justru malah mengira dia saudaraku...
Lihat saja sekarang, wanita itu nampak sedang mengelus-elus rambutnya. Bersandar di pagar halaman dan tampak diam. Pandangannya kosong, dan seolah ada gurat kemarahan yang amat dalam pada dirinya, hal itu bisa diwakilkan oleh bentuk bibirnya yang tampak ke bawah. Yang aku herankan, perutnya tampak menonjol. Pakaiannya tampak menciut akibat perutnya yang tampak membesar. Mungkinkah dia hamil? Secara ternyata dia gila, jadi mungkin saja dengan wajahnya yang memang benar-benar melebihi artis itu jadi mangsa empuk para preman pasar. Aku pernah mencoba mengusirnya, tapi dia justru menatapku dengan pandangan kosongnya, membuatku merasa iba dan membiarkannya tetap berada di situ. Kalau malam tiba, dia biasanya pergi entah ke mana. Namun jika pagi, sekitar jam sembilan dia pasti segera kembali bersandar di tembok pagar halamanku.

“Den, bibi mau permisi ke pasar dulu beli sayuran, ya..”
Suara Bi Minah, pembantuku mengagetkanku. Aku memang tinggal berdua dengan Bi Minah, orang tuaku berada di Surabaya.
“Oohh, ya, ya.. bi. Jangan lupa beli wortel buat makan Lipo..” sahutku. Lipo adalah kelinci peliharaanku.
“Ya, Den...”
Bi Minah kemudian keluar dari rumah. Pandanganku kembali beralih menuju ke jendela lagi. Aku terus mengamati sosok yang sangat ganjil di depan mataku. Aku masih terheran-heran, gadis semanis itu... enggg... gila?? Oh! Apakah mungkin?? Sungguh sebenarnya dalam hatiku ini terbesit rasa jatuh cinta pada gadis itu. Tapi aku segera saja menepisnya! Aku-mencintai-orang-gila??? Tidak tidak tidak! Ini suatu kesalahan. Muka gadis itu sedikit familiar, tapi.. aku tidak ingat apakah pernah bertemu dengannya atau belum. Yang jelas dia sangaaat familiar!

***

Aku baru saja pulang dari mengantarkan sepupuku ke terminal untuk pulang menuju kampungnya yang ada di daerah Surakarta. Setelah sedikit berpesan pendek dan salam perpisahan kecil-kecilan dengan sepupuku yang satu tahun sekali datang berkunjung ke tempatku, aku memutuskan untuk langsung pulang. Hari sudah sore, sekitar pukul 17.00, aku khawatir jika pulang terlalu lama, sebab yah... tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Karena apa yang dilakukan orang-orang di siang hari tentu berbeda dengan aktivitas malam hari yang penuh dengan kesuraman.
“Pondok Batu! Pondok Batu!” suara kernet angkot cukup mengagetkanku dari arah belakang. Langsung saja ku stop angkot itu
“Pondok Batu, neng??” si kernet mempersilakanku untuk masuk, aku menjawabnya dengan anggukan dan senyuman kecil.
Di dalam angkot ada seorang ibu-ibu gendut, lalu kakek renta dan tiga pemuda yang cukup kekar. Aku duduk di tepi dekat pintu angkot. Angkot mulai bergerak dan aku sedikit cemas aku akan terlambat tiba di rumah, jam sudah menunjuk pukul 17.10 sore.

“Kiri!”
Seperempat jam kemudian, aku sudah tiba di gang menuju Pondok Batu, desa tempat tinggalku. Oh, tidak! Dugaanku ternyata tidak meleset! Aku sudah terlambat!
Sebenarnya maksud kata ‘terlambat’ adalah bukan karena aku terlalu terkekang dari rumah dan tidak diperbolehkan datang malam-malam, tapi ... segerombolan pemuda yang terbiasa bergerombol saling mabuk-mabukkan sudah berkumpul di depan gang itu. Dengan sangat cemas, apalagi aku hanya seorang gadis seorang diri yang akan melewati gang itu, aku mempercepat langkah.
“Hai cewek! Sini dong!”
Nah, kan. Itu suara dari segerombol pemuda bejat yang kukhawatirkan. Ya Tuhan! Lindungi aku!
“Suit! Suit! Duille sombongnye... sini dong say!”
Oh tidak! Aku harus cepat-cepat kabur. Belasan pemuda sudah mabuk disitu rupanya (padahal jam masih pukul 17.55, namun aku bisa mencium bau yang menyengat; yang apalagi kalau bukan sejenis tuak?).
Hap hap hap.
Kupercepat langkahku dan berdoa! Lindungilah hamba!!
Tlak! Sebuah tangan menyinggung pundakku. Deg! Darahku berhenti mengalir. Matilah aku! Batinku.
“Sri? Kamu Sri kan??”
Sebuah suara menggema dan membuatku hampir-hampir tersedak. Saat kutolehkan wajahku, itu Nanang!
“Nanang! Ayo cepat! Aku takut!”
Tanpa babibu, kutarik tangan Nanang dan kuseret dia cepat-cepat menjauh dari gang kecil dengan banyak pemuda mabuk. Setelah beberapa meter, akhirnya aku berhasil melewati para mabuk itu! Syukurlah!
“Kenapa, Sri? Kenapa kamu panik begitu?” Nanang terengah-engah memandangiku keheranan. Di tasnya ada ransel gunung.
“Kamu tidak lihat? Ada banyak pemabuk di sana. Aku sangat takut!” aku menjelaskan sambil terbata-bata.
“Sri, pemabuk yang mana? Jangan ngaco, ah!” Nanang menoleh ke belakang sambil keheranan.
“Itu yang ada di gang itu! Masak kamu nggak ngeliat??” aku mengernyitkan dahi sambil tidak habis pikir, apa Nanang mulai rabun. Oh, ya, ngomong-ngomong si Nanang adalah tetanggaku.
“Nggak ada pemabuk, ah! Dari tadi aku cuma lihat kamu doang, kok!” Nanang berusaha meyakinkanku dengan argumennya.
“Nanang! Kamu beneran nggak lihat??” eskpresiku terkejut.
“Sri, kamu kenapa? Kamu sakit?” Nanang menempelkan tangannya ke dahiku.
“Jangan seperti itu! Aku tidak suka!” kutepis tangannya dan melengos.
Nanang hanya memaku, dia membiarkanku berjalan sendiri. Kurang ajar! Dia bahkan tidak mengantarkanku. Apa dia mulai sinting? Masak gerombolan pemuda sebanyak itu dia tidak melihat? Huh.

Aku terus melangkahkan kaki menuju ke rumah. Setibanya di kompleks Pondok Batu, aku masuk ke rumahku. Aku cukup lega tiba di rumah dengan selamat (baca: tidak terusik oleh gerombolan pemuda yang menjijikkan itu!). Kututup pintu rapat-rapat dan aku masuk ke ruang tengah.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu??” tiba-tiba ada suara dari arah belakangku. Aku melonjak kaget!
“Hah? Anda-anda ini siapa?” tanyaku begitu melihat dua orang yang tidak kukenal berdiri tepat di ruang kamar tidur bapakku. Dua orang itu salah satunya adalah ibu-ibu dan dia sedang mendekap di lengan seorang bapak-bapak yang menanyaiku. Wajah mereka tidak familiar sama sekali. Apa mereka saudara jauhku?
“Kami pemilik rumah ini..” kata mereka.
Apa? Aku nggak salah dengar kan?
“Hah? Jangan asal, ya Pak. Ini rumah saya..!” sergahku cepat-cepat sambil melotot.
“Eem... tapi benar ini rumah kami. Adik ini siapa?” tanya si bapak-bapak itu. Istrinya tampak ketakutan melihatku. Kenapa dia bertingkah seperti itu, uh? Memangnya aku setan apa!
“Saya Sri! Dan saya yang punya rumah ini. Itu kan kamar bapak saya! Astaga! Kemana bapak saya?” aku mulai linglung. Aku segera memastikan kalau aku tidak salah masuk rumah. Tapi benar kok, dindingnya berwarna coklat krem. Warna favoritku dan warna dinding rumahku! Jadi siapa yang salah?
“Kami sudah tinggal di sini bertahun-tahun. Jadi tidak mungkin jika ini rumah adik.. Sebaiknya adik keluar!” si Bapak mulai menggertak.
“Enak saja! Harusnya saya yang mengusir bapak. Bapak lancang sekali masuk ke rumah saya!” aku segera berkacak pinggang. Enak saja dia main usir! Gila apa dia?
“Kalau begitu di mana dapur rumah ini?” si Bapak-bapak bertanya konyol sekali, dan kurasa sangat tidak nyambung. Pertanyaan yang sangat tiba-tiba.
“Dapur? Jelas di sini!” aku melangkahkan kaki memasuki ruangan tengah. Tuh kan bener? Ini rumahku, meja makan dengan taplak berwarna ungu plus hiasan dinding berupa kalender bercorak bunga adalah ruang tengah milik rumahku. Aku meneruskan jalanku menuju ke dapur. Bapak dan ibu itu mengikutiku dari belakang.
“Ini dapurnya!” Aku mengacungkan jariku ke arah...
Tidak! Ini suatu kesalahan!
“Mana?? Itu tembok. Adik sebaiknya keluar atau saya teriak maling!” si Bapak-bapak itu tak henti-hentinya berusaha mengusirku.
“Tapi benar! Ini dapurnya! Saya yakin saya tidak salah! Pak..! Bapak..!!” aku berteriak lengking memanggil bapakku. Kemana sih dia!? Kenapa dia menutup pintu dapur seenaknya! Tapi perasaan tadi sebelum mengantar sepupuku pulang aku yakin kalau pintu dapur itu masih ada!
“Hitungan ke tiga saya minta adik segera enyah!” Bapak-bapak itu mulai mengancam. Hei! Ini rumahku!
“Enak saja! Ini benar-benar kesalahan! Saya yakin ini rumah saya! Tidaaak!!!!”
Saking frustasinya, aku berlari menghambur keluar. Menyeruduk pasutri itu sambil menitikkan air mata. Sebenarnya ada apa sih!!
“Cantik-cantik gila!!” terdengar serapahan dari arah belakang setelah aku keluar rumah. Aku menoleh ke arah rumahku. Iya! Itu memang benar rumahku! Atapnya genting coklat tua dengan halaman rumah yang berpagar bambu! Aku hanya menangis. Kemana bapakku!!?
Aku tertunduk lemas. Sudah maghrib, dan aku tak tahu harus kemana. Itu kan rumahku! Mendadak kulihat samar-samar bayangan.
Eh! Itu dia! Itu bapak!! Syukurlah! Dia pulang!
“Bapak! Bapak!!”
Kudekati bapakku sambil berlari-lari kecil.
“Ehm, ada apa, ya dik?” weits!! kenapa Bapak bertanya begitu?
“Loh, Pak? Ini Sri! Masak lupa sama anaknya??”
“Sri siapa ya? Perasaan saya belum punya anak..”
Bapak kenapa jadi innocence begini! Kenapa dia tidak mau mengakui anaknya? Dasar bapak durhaka!
“Pak! Rumah kita pak! Rumah kita dicuri orang!” kataku pada Bapak, mungkin tadi dia cuma bergurau, Bapakku memang suka bercanda!
“Rumah yang mana?? Maaf ya, saya sedang terburu-buru!” loh, Bapak?? Kenapa jadi ikut-ikutan aneh begini sih?
“Pak! Tolong Pak! Rumah kita dicuri orang!!” Aku menggapai lengannya dan menariknya untuk menuju ke RUMAH!
“Maaf, dik! Saya mohon lepaskan saya!!” Bapak menggertakku! Aku tidak percaya!
“Jangan bercanda pak! Saya serius, Pak! Ayo kita ambil rumah kita!” omonganku jadi seperti orang yang sudah tidak waras lagi! Ogh!! Please!!
“Saya juga SERIUS!! Dasar GILA!” tanganku dicampakkan begitu saja! Aw! Sakit! Tapi... bapak menghujatku! Oh! Benar-benar membuatku risau! Baru kali ini bapak semarah ini...
“Bapak kejam!!” aku lari sejadi-jadinya. Ini semua sudah tidak masuk akal!

(Bersambung)