Roni, Soni atau Toni

RONI, SONI ATAU.. TONI??
(By Barzam Freetobe Hisself)

Si Kembar Tiga.
Adakah yang pernah menyangka itu? Bocah lahir kembar tiga dengan selang waktu 1 menit 1 menit. Yah, dengan alasan itulah mengapa nama kami diawali dengan abjad yang alfabetis dan urut:

R, S dan T tapi berakhiran sama—ONI!!

Mengapa dimulai dari R? Karena menurut ayah kami, kasihan banget si bungsu kalo misalnya dimulai dari E, ntar jadinya Eoni, Foni sama Goni (emangnya karung goni!?). Dan kenapa harus berakhiran oni? Itu karena nggak ada lagi imbuhan yang tepat untuk nama kami biar alfabetis dan nyentrik—katanya juga sih, karena kami lahir secara urut, sia-sia rasanya kalau nggak dikasih nama yang unik. Tadinya ayah sempat mau memberi nama Deni, Denis, Denias, tapi karena terlalu mirip pelafalannya dan susah dikasih nama lengkapannya, maka ayah memutuskan untuk mengganti. Entah wangsit darimana, tiba-tiba ayah punya ide membuat nama yang berurutan. Sekitar 7 hari ‘semedi’, ayah akhirnya berhasil menemukan nama yang cocok. Dan bukannya mau nyombong, tapi akhiran oni konon katanya dari kata symphony... (suit! suit! keren kan?). Toh meski pun begitu, banyak orang yang nggak peduli-peduli amat kok. Bagi mereka, Roni kek, Soni kek, atau Toni kek.. mukanya mirip semua! (Ya eyalah.. secara kembar gitu!)

Kami semua ideal.
Nggak ada yang gemuk, nggak ada yang kurus.
Nggak ada yang tinggi, nggak ada yang pendek.
Itu menurutku sih.
Semuanya rata-rata, tapi satu-satunya masalah adalah: kadang kami sendiri harus bingung, siapa memanggil siapa. Misalnya Roni, kemarin dia meminjamkan bukunya padaku. Tak tahunya keesokan harinya, Soni, kakak keduaku bertengkar hebat sama Roni gara-garanya Roni memaksa Soni untuk segera mengembalikan bukunya. Roni mengira kalau aku pura-pura menjadi Soni. Ha ha, untung aja waktu itu saya langsung datang. Kalau enggak, udah babak belur tuh muka si Soni!

Jahil satu sama lain itu tradisi.
Kooperatif adalah kuncinya, yang patut mendapatkan predikat paling jahil sebenarnya saya karena (jujur saja,) saya punya ide cemerlang untuk mengerjai kakak tertua. Tapi, pernah juga saya jadi korban kedua kakakku yang kelewat berandal itu. Mereka saling menukar diri dengan nama masing-masing. Sehingga saya dibuat kelimpungan; misal saat memanggil Roni, yang nengok Soni, atau saat memanggil Soni yang nengok Roni. Saat nyuruh Roni, dia ngakunya Soni, saat nyuruh Soni, ngakunya Roni...

Tuh kan? Kalian aja udah pada pusing bacanya.

“Toni! Lo udah ngerjain Fisika belum—Angka penting terutama.” Roni menanyaiku, hari ini Minggu sore, dan besok adalah hari melelahkan yang akan segera dimulai.
“Mana sempet! Gue lagi bingung Pandora Tomorrow! The darah dan doa bikin gue pusing.. Nggak ada tutorialnya sih” jawabku sambil nggak berkutat dari layar monitor di depanku, saya lagi maen game, jadi maklumlah...
“Ah, elu! Itu kan baru level satu!” Roni kemudian beringsut. Dan sayup sayup kudengar suaranya lagi—Soni; lo udah ngerjain PR belum?? ----dan terdengar lagi; Enak aja nyontek, kerjain ‘ndiri kenapa!

Ha ha, mereka berdua memang rada-rada konslet. Nggak tahu deh, tapi kapan pun dan di manapun selalu aja berantem. Yang paling netral adalah saya. Seorang gamers sejati nggak pernah peduli sama lingkungan; mungkin itu yang jadi alasan kenapa saya paling ‘netral’. Soni tipe-tipe kutubuk yang nggak pernah bisa lepas dari otak ilmiahnya bercas cis cus hingga pernah menyabet gelar juara Olimpiade Matematika *bla bla bla* entahlah embel-embelnya. Saya nggak hapal. Kalau Roni... ugh, mentang-mentang anak pertama, bawaannya kayak majikan, suruh inilah, itulah, beginilah begitulah. Capek deh!

Okey.. okey... Mungkin SplinterCell Pandora Tomorrow musti saya sudahi dulu. Fisika sudah menunggu, dan.. yah... mau bagaimana lagi. Satu-satunya cara agar bisa menyelesaikannya dengan cepat adalah mencekoki si Soni itu untuk memberikan PR-nya. Haha! Misi ini tentu lebih serius dari Pandora Tomorrow!

“Toni... lo tuh. Kerjanya maen game aja! Gue udah bilang berapa kali ke elo, belajar dikit kek kenapa!” adalah nasehat dari ‘kakek’ Soni ketika saya merayunya untuk memberikan PR Fisikanya.

“Ah, kamu Son. Pelit amat..”

“Son? Kamu bilang apa tadi??” hardik Soni.

“Nggak pa-pa, err ... KAK Soni!” ujarku.
Nah, tahu kan? Dasar kutubuk sensitif, nggak nyebutin gelar aja udah mendelik!

“Sekarang dari pada kamu ngebuang napas yang nggak penting. Kerjain sono PR Fisika kamu sendiri. Dan jangan harap gue bakal ngasih PR gue itu ke elo”

HOEG!

“Tapi, Kak... Toni tuh nggak mudeng sama sekali...”

“Oh, butuh privat rupanya. Sini, Soni ajarin...”

GEDUBRAK. mampus deh, nggak bisa kabur. Motoku selama ini adalah: Lebih baik dimarahi guru karena nggak ngerjain PR ketimbang privat sama Kak Soni!

“Oh makasih banget, tapi kayaknya lebih baek Toni ngerjain sendiri aja..” ujarku berusaha semaksimal mungkin untuk kabur dari bencana.

“Eits! Ngerjain sendiri nggak bakal bisa. Udah sini, deh *blah blah blah*”

(...)
Percaya saja, privat sama Kak Son—toloyo—ni terlalu melelahkan untuk kalian ketahui karena... terlalu melelahkan.


***

And the trouble is begin off.
Kenapa sih dua saudara tengik (oops) yang nggak bisa berhenti kelewatan nggak bisa merubah sikap mereka.
PENCONTEK ULUNG.
Itu yang selama ini kuanggap mereka kayak gitu.
Nyontek.
Nyontek.
Dan NYONTEK.
Seolah nggak ada kata lain yang tepat untuk mengatakan yang lain.
Aku.

Soni Putra Herdinan.

Sudah membulatkan tekad untuk tidak lagi memberikan contekan pada kakak adik yang terlalu manja. Kolot? Nggak usah gitu, aku sudah mencoba untuk menginsyafkan mereka dan membebaskan mereka dari belenggu kemaksiatan bernama plagiatorisme.

“..Ini cari F tiga satu-nya nggak kayak gitu. Harus diperhatikan arahnya, ke kanan atau ke kiri.. kalau ke kanan, itu berarti positif, ke kiri negatif. Lo nggak merhatiin, ya?”

“Ya, Kak...”

Aku sedang melakukan misi besarku dan kuuji pada Toni, si gamers kurker itu. Pokoknya, aku musti bisa bikin Toni lebih pinter daripada gue!
Setengah jam kemudian, dan. . hanya 3 soal sukses terlewati

“Nah, kan akhirnya selese juga. Makanya usaha.” kataku menasehati Toni.

“Ya Kak Soni..” komentar Toni, nadanya kedengeran rada-rada jengkel juga. Apalagi tadi sempat kulirik di layar monitornya ada tulisan pause besar. Ha! Siapa suruh bermalas-malasan dan malah keasyikan main game kayak gitu. Kembar bukanlah satu-satunya alasan yang bisa membuat kita harus kompak. Bagiku salah besar kalau kembar identik itu harus selalu sama.

Nggak percaya?

Roni, si Sulung itu: kurus, dengan rambut sedikit gondrong dan selalu bergaya gothic.
Toni, si Buyung itu: gempal, dengan rambut pendek dan memakai kacamata minus.
Dan aku? Selalu menenteng buku dengan gelang hitam yang nggak boleh lepas dari tangan kiriku.

Itu cukup jadi bukti kalau kembar gak selamanya sama. Bahkan, meski tampang kami sejujurnya sangat mirip, tapi karena ada yang make kacamata dan perbedaan gaya rambut, orang-orang nggak ada nyangka kalau kita kembar. Bahkan, mereka menampik dengan terang-terang bahwa nama kami yang R, S dan T itu bukan karena kami kembar, tapi cuma sensasional doang.

Terserah.

Itu nggak penting juga untuk diributkan. Scrap, scrap kubalikkan buku biologi itu. Membaca adalah salah satu kegemaranku, katanya sih ini turunan kakekku yang bahkan punya koleksi ribuan buku yang disimpan di rumahnya. Aku belum pernah sih ngebaca koleksi buku Kakek, soalnya kata Nenek, nggak ada yang boleh baca karena Kakek takut buku-bukunya jadi rusak.

Yah.. udah jam 9.30pm, Toni udah ngeloyor ke kamarnya. Roni juga udah nggak kedengeran lagi suaranya. Krik krik krik hanya suara jangkrik yang memulaskanku tidur di malam hari ini. Agh....


***

Keesokan harinya

Gue nggak tahu musti ngapain. Soni Belagu itu nggak mau ngasih PR-nya ke gue. Buset, sama sodara aja pelit, nggak kebayang deh gimana temen-temennya (tapi nggak tahu juga sih, Soni masuk ke kelas para diligent, kali aja dia ketularan virus varian baru—semacam virus penyebab kepintaran ekstra tetapi juga menambah kepelitan kali).

Dengan ogah-ogahan, gue turun untuk segera membasuh muka. Lagi-lagi musti antre. Ugh.

“Bang Roni! Gila.. kemaren nyaris tamat tuh ‘the darah dan doa’-nya. Sayang deh... gara-gara..”
Itu Toni yang di luar pintu kamar mandi. Kayaknya hanya dia deh yang mau sedikit lebih kompak. Seenggaknya tidak 180 derajat berkebalikan dengan Soni.

“Gara gara fisika? Hooh kan? By the way temen gue dapet game baru tuh, Trackmania united, nyoba nggak?”

“Balap mobil itu kan? Saya udah coba yang sunrise, boleh juga. Pinjemin ya, Bang!” mata Toni langsung berbinar seperti mata kucing. Dasar adik yang lucu.

Klek.

Gagang pintu kamar mandi berbunyi dan pintu terbuka. Soni keluar sambil bersiul-siul seperti biasa. Gue cuma bilang Morn dan dia menepuk bahuku seperti pagi-pagi yang lain. Yagh... seenggaknya hanya itu yang bisa kubilang sebagai kekompakan Soni sebagai saudara kembar. Hag hag!
Toni udah masuk ke kamar mandi. Kini giliranku menunggu si Toni itu. Ghh... tuh anak, ada sisi nyebelinnya juga. Mandi kalau nggak seperempat jam nggak bakalan keluar. Yah, terpaksa deh nunggu. Oh, ya.. ayah sama ibu udah berangkat pagi-pagi. Mereka sangat sibuk dengan urusan kantor mereka. Bagian Marketing otomotif, baik ayah atau ibu, keduanya kerja di kantor itu. Kadang sih, beruntung juga sering dapat majalah otomotif per minggu secara cuma-cuma. Hah hah!

SRTDTSTSTSTTTSKKR BRAGGGG!
AAAAHHH, Tolonngg!!

Tiba-tiba terdengar bunyi berisik dari dalam kamar mandi. Itu suara Toni! Kenapa tuh anak.

“Ton! Toni! Kamu ngapain? Ton! Toni! Toni!” teriakku sambil mengetuk-ketuk pintu dengan keras.
“Auuh.. aduh! Aduh! Ahh!!” suara panik Toni! Langsung saja kubantingkan tubuhku ke pintu untuk berusaha mendobrak pintu.
WHAMP! WHAMP!

“Mas Roni! Ngapain sih berisik-berisik?” kulihat Soni datang tergopoh-gopoh.

“Bantuin cepet! Toni kayaknya kepleset!” kataku sedikit panik.

BHAMP! BHAMP! BHAMP!

GLODAK!!

Pintu itu akhirnya terbuka. Kulihat Toni yang hanya memakai celana pendek tersungkur diam. Kudekati dengan panik dan cepat-cepat kubopong dia keluar, Soni juga membantu mengangkat. Bau amis darah tercium tapi gue nggak liat ada darah dari tubuh Toni. Astaghfirullah! Rupanya dari telinganya keluar darah!

“Toni! Ttoon!! Astagfirullah, sadar Ton! Ton!!”
Baru kali ini gue bisa sehisteris cewek. Dengan panik gue tekan-tekan dada Toni untuk melancarkan pernapasannya. Soni mengibas-ibaskan handuk mengipasinya dan mengangkat kaki Toni sedikit ke atas.

“Ton! Bangun, Ton! ... Soni! Telpon dokter! Cepat!” titahku. Soni langsung bergegas menelepon dokter.

***


Rasanya baru kemarin aku mengajari Toni fisika.
Rasanya baru kemarin aku mengerjakan PR bersama Toni.

Pip.. pip.. pip..
Bunyi mesin pendeteksi detak jantung itu nyaring sekali. Mama dan Papa udah di samping ranjang tempat Toni yang ber-infus. Mama terisak, dia tampak kalut. Papa hanya diam membeku melihat salah satu anaknya tergolek begitu.
Yang salah siapa aku nggak tahu.
Tapi mungkin ini udah jadi jalan takdirnya Toni musti kayak gitu.
Yah, aku cuma bisa berdoa semoga saja nggak ada yang lebih buruk lagi.
Kepalaku serasa nyeri.
Insting kembar tetap ada rupanya, aku bisa dengan jelas ngerasain rasa sakitnya Toni. Ugh, mendadak perutku terasa dingin.

“Selamat siang. Saya Dokter Arya, yang menangani pasien Toni. Bisa saya bicara dengan orang tua yang bersangkutan?” tanya seorang dokter yang tiba-tiba saja muncul di belakangku.

“Baik, dok. Mari.. mari..” papa langsung mengajak dokter Arya itu keluar. Mereka pasti membicarakan diagnosa dari pemeriksaannya Toni! Egk... kenapa kepalaku pusing sekali ya??

Eh by the way

Iya.. bener!
Kepalaku sangat pusing...
Ugh! Rasanya sakit sekali.
Perutku juga terasa sangat dingin.
Aku menatap Mama yang sedang menangis memegangi tangan Toni. Kutoleh kepalaku menuju Bang Roni. Dia tampak pucat juga, tapi tidak seperti aku. Aku benar-benar pusing, mual dan ingin muntah rasanya. Pandanganku mendadak kabur. Ada yaangg saaalaaah...

“Son? Lu ngapain?” bang Roni menatapku dengan khawatir. Dari mimiknya aku yakin dia pasti tahu ada yang tidak beres dengan¬¬--BRUG!!—gelap.

***


Mama tampak menangis di samping Kak Soni.
Papa hanya terdiam membeku di samping Mama. Mereka tentu sangat kalut melihat keadaan Kak Soni. Saya tidak tahu apa persisnya yang terjadi. Ini sudah seminggu sejak saya diperbolehkan pulang dari rumah sakit yang sama dengan yang saat ini saya berada. Menurut Bang Roni, saya jatuh terpeleset dari kamar mandi. Ya benar, cuma itu yang bisa saya ingat. Saya bisa ingat kaki saya sakit sekali waktu itu dan saya tidak tahu lagi karena semua menjadi gelap.

Saya dikabarkan selama dua hari tidak siuman.

Tapi sekarang, sudah hampir dua minggu dan Kak Soni sang kutubuk itu tidak juga siuman. Saya curi dengar, kata dokter, jika dua minggu Kak Soni belum juga siuman, akan dilakukan operasi.

“...Saraf terjepit dan kadar sel darah merah yang kurang. Anak bapak anemia, dan dia rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Kondisi ini cukup parah, kita tunggu saja sampai dua minggu..”

Pip.. pip.. pip...

Hanya suara itu dan isakan tangis Mama yang terdengar.

Kamar itu jauh lebih menyeramkan daripada penjara, jauh lebih sepi daripada kuburan.. Dan saya nggak tahu lagi. Saya merasa kasihan dengan kakak saya yang satu ini. Kenapa!!


***

Gue stress!
Dua adek gue nggak tahu kenapa pada error semua!
Nggak tahu deh.
Si Soni ini yang kelewatan, sudah hampir dua minggu dia nggak sadar-sadar juga. Padahal sebelumnya dia tampak fresh saja. Nggak tahu deh. Gue pusing! Tapi meski begitu, gue berusaha berdoa yang terbaek buat adek gue ini. Benar juga kata orang, kalau ada anak kembar dan kembar banyak itu pasti bakalan sakit-sakitan. Nggak sepenuhnya benar sih, tapi memang kehidupan kita si kembar tiga selalu dihadang oleh penyakit-penyakit. Seperti tahun lalu misalnya, aku terkena maag, bukan masalah besar, tapi maag itu berbulan-bulan tidak sembuh. Kali ini Toni dan Soni.. Ugh.. entahlah.
Srrk srrk, jemari Soni bergerak. Hei! Aku nggak salah lihat kan?
“..Maa??”
Soni bergumam. Mama yang sedari tadi terisak, langsung membelalak kaget, pancaran mukanya mulai berseri.
“Son? Anakku?? Nak.. bangun, nak!” Mama langsung memeluk Soni.
“Maa.. Aku dimana??” Soni setengah terbata berbicara begitu. Toni yang juga di ujung ranjang langsung mendelik, dia sempat takjub dengan yang dilihatnya.

Akhirnya Soni sadar.

“Son! Alhamdulillah! Syukurlah kamu siuman!” kataku.

“..Ugh.. Kepalaku.. kepalaku pusing.. sakit.. sakit sekali Aarghh!” erang Soni, Mama yang melihatnya langsung memberi kode pada Toni untuk memanggil dokter.

“..Bang Ron?? Bang.. abang di situ??” mata Soni rupanya belum terbuka, aku kemudian berbisik ya.

“Bang.. Soni mau bilangin sesuatu.. Bentar, ya Ma..” Soni kemudian memberi aba-aba untuk mendekatkan kepalaku. Kudekatkan kepalaku dan Soni mulai membisik mengatakan sesuatu. Setengah tidak jelas, tapi aku mengerti apa yang Soni mau.


***


(Lanjutkan Membaca)