Katakan dengan Satu Kata

KATAKAN DENGAN SATU KATA
by theDreamer (visit me!)

Dewi terlihat manis saat kucuri pandang, dia tampak rajin sekali dalam menyapu, padahal biasanya dia ogah-ogahan megang sapu. Yah, saat ini kelas 8 emang lagi disuruh kerja bakti buat persiapan try-outnya kelas 9. Oh, ya, namaku William, udah beberapa minggu ini aku fell-in-love sama si Dewi. Ini juga merupakan jatuh cinta pertamaku, perasaan itu mendadak datang semenjak semester 2. Akh, padahal kalo kalian ngeliat si Dewi, aku yakin kalian bakal nganggep tampangnya biasa-biasa aja. Dia punya rambut pirang panjang dan mata yang sedikit besar dan lesung pipinya tampak tertoreh. Yang aku heran, kalo aku ngeliat dia, bawaannya nyamaaan banget. Yang aku denger sih, dia udah berulangkali ditembak cowok, tapi pada ditolak gara-gara nggak bisa menuhin syaratnya. Syarat? Ya, kalian nggak salah baca, doi memang terkenal sebagai cewek ‘istanasentris’, soalnya kayak di dongeng-dongeng gitu... nembak aja pake persyaratan. Tapi anehnya, justru inilah yang bikin aku penasaran dan pengin nyoba nembak dia.




“Iam! William! Dipanggil Bu Lastri, tuh! Ngelamun aja!” tiba-tiba suara dari arah belakang mengejutkanku, uh... si Toni! Si Badung yang anehnya menjadi teman karibku itu tergopoh-gopoh menghampiriku.

“Bu Lastri? Emangnya ada apaan?” tanyaku sekenanya sambil mengibaskan kemoceng, perhatianku pada Dewi menjadi teralihkan.

“Nggak tahu juga sih, tadi pas gue lewat di depan kantor Bu Lastri nyuruh gue manggilin lo,”
“Hah? Jangan-jangan gue bakal dapet PR ekstra!?”

“Auk deh, udah sana, siniin kemocengnya biar gue gantiin!”

Dengan langkah berat—terutama karena aku nggak bisa deket-deket lagi sama si Dewi—aku berjalan menuju kantor. Aneh-aneh aja sih Bu Lastri, dia adalah wali kelasku, meski aku bukan ketua kelas atau terlibat dalam struktur organisasi kelas, Bu Lastri lebih sering menunjuk-nunjuk aku untuk melakukan hal ini itu. Bagi kalian tentu saja hal ini ngebosenin, apalagi melihat kenyataan bahwa aku sama sekali nggak terlibat dalam organisasi kelas. Tapi masalahnya, Bu Lastri adalah tetanggaku.

“Mulai besok kan libur, Ibu mau minta bantuan sama kamu, Am. Nggak ngrepotin kan?” kata Bu Lastri setibanya aku di meja gurunya.

“Eh, tentu saja tidak kalau saya bisa, memangnya ada apa Bu?” tanyaku.

“Masalah kecil, minggu depan anak ibu yang nomor dua ulang tahun, tapi berhubung Ibu sibuk ngurusin try-out kelas 9 besok, jadi ibu minta tolong kamu bikinin kue ultah sama dekorasi ruangan. Lagian ibu denger-denger kamu pintar dalam tata-boga. Jadi boleh kan ibu minta bantuannya?”

What? Masalah kecil?

“Boleh saja, Bu. Tapi kenapa enggak beli aja kuenya? Atau sama pembantunya mungkin?”

“Masalahnya lagi, ketring langganan Ibu tutup dua minggu. Pembantu Ibu ngurusin bapaknya yang sakit, dan Ibu sendiri juga nggak bakalan sempat. Gimana?”

“Tapi saya nggak sen—“

“Tenang aja, si Dewi kemarin udah ibu kasih tahu buat bantu Ibu dan dia mau. Masak kamu nggak mau sih?”

Siapa?? Dewi? Nggak salah denger neh? Mendadak jantungku berdegup kencang.

“Wah, kalau begitu saya mau, Bu. Soalnya kan nggak sendirian”

“Nah, gitu dong. Ngomong-ngomong anak-anak udah selesai bersihin kelasnya?”

“Sudah, Komandan!” mendadak jantungku berdegup kencang. Rasanya Bu Lastri ingin kupeluk dan kutimang-timang.

“Ah, apa-apaan kamu ini. Ya sudah, kelas boleh bubar. Minggu depan jangan lupa ya.”

“Siap!”

....

*I cant say anymore!!*


1 Minggu Kemudian.

Waktu serasa cepat, dan saat-saat yang kunanti itu tiba. Tepat di depan rumah Bu Lastri kulihat sebuah sepeda berwarna pink diparkir di halaman samping kanan. Milik Dewi, siapa lagi kalau bukan?

“Halo William! Sudah lama Ibu tunggu nih...” Bu Lastri mempersilakanku masuk dan tanpa ba-bi-bu, dia langsung menjelaskan apa dan bagaimana yang harus kukerjakan di dapur. Pembantu dadakan nih, no problem, selama ada Dewi!

“Jelas kan Am? Nah, Ibu udah mau berangkat ngurusin try-out”

Bu Lastri meraih tas kecilnya yang tergeletak di meja. Tapi tunggu! Dari tadi kenapa tidak kudengar Bu Lastri menyinggung-nyinggung Dewi?

“Terus Dewinya mana, Bu?” pancingku.

“Ohh.. iya Ibu lupa. Dewi lagi ke warung, beli bahan tambahan sama kertas kado. Bentaran juga dia pulang. Udah ya, Iam. Udah jam tujuh lebih nih, entar Ibu telat..”

“Oke, hati-hati ya Bu”

“Ya...” ujar Bu Dewi sambil berlalu pergi.

Puff!!! The great moment will begin! Dengan rasa dag dig dug tak jelas, tanganku bergetar membaca buku resep kue-kue. Membayangkan Dewi bersamaku saja rasanya sudah nggak karuan, gimana nati waktu kerja bareng ya!

Aku sibuk membolak-balik buku resep itu sambil menyiapkan bahan-bahan yang kuperlukan. Kata orang, aku memang sangat berbakat menjadi chef. Padahal nggak ada sedikitpun keinginanku jadi koki-koki itu. Aneh juga, sih... kali aja ini yang disebut bakat terpendam. Huff... tapi ngomong-ngomong, sudah hampir dua puluh menit, Dewi kok nggak muncul juga ya. Sambil berusaha mengalihkan pikiranku dari Dewi, aku mulai menuang bahan-bahan seperti telur dan tepung terigu ke tempat adonan.

Judul kue ini adalah blackjungle, aneh juga namanya, pada umumnya kan kue namanya blackforest, tapi yang ini blackjungle. Nggak ada perbedaan arti sih kalau dalam perbahasaan, tapi dilihat dari sisi kuenya, kue ini bakalan diberi aksen manik-manik coklat di pinggirannya dan selai kacang di dalamnya. Menarik. Tapi kue ini lumayan rumit, soalnya harus dibikin sekat-sekat. Dengan segenap tenaga, mulai kuaduk adonan itu dan sesekali aku tambahkan gula karena aturan membuat blackjungle adalah gula dibuat berlapis-lapis dan selang-seling dengan selai kacangnya. Semakin menarik saja, sebab kalau kubayangkan, orang yang akan memakan blackjungle akan merasakan sensasi kacang-pahit-manis-manis-pahit-kacang. Selain itu, mengapa kupilih blackjungle adalah karena NGEEKK!!

Tiba-tiba pintu terbuka, lamunanku menjadi terpudar.
Itu DEWI!! Huph! Huph! Huph! Aku berusaha mungkin mengatur napas sebaik mungkin agar tidak terlihat grogi di depannya.

“Halo, William! Maaf yah kelamaan nunggu...” suara Dewi yang khas bersenandung. Dug, dug! Dug, dug! Dug, dug! Jantungku serasa mau copot tak kuasa menjawabnya! Pipi Dewi yang putih itu tampak kemerahan – kepanasan mungkin. Rambut panjang dan lurusnya enggak dikucir seperti biasanya, dia tampak benar-benar natural!

“Nah, eh, ya, uh... iya nggak oh, nggak pa-pa...” sial! Mulutku komat-komit seperti sedang berusaha membaca mantra! Calm down, William!

“Woi!” plek! Tangan Dewi menepuk bahuku. Adonan yang sedang kuaduk serasa mau kutumpahkan! Apakah ini karena aku seorang dreamer sejati-nya Dewi hingga aku tampak kacau?

“Kenapa sih, Iam? Jadi gagap gitu? Jangan-jangan kamu salah makan? Tapi kepalamu enggak panas kok...” sahut Dewi, tangannya menyentuh keningku... Dug! Dug! Dug! Dug! Jantungku serasa mau meledak.

“Ih, Dewi apa-apaan sih! Gue cuma kaget aja kali...”

“Hahahaha! William, William! Kamu lucu deh! U.. udah se.. selesai be.. belum..?? Hahahaha!”

Dewi mencibirku, omongannya dibuat-buat gagap begitu. Aku hanya menyeringai, nafasku masih terengah-engah, tapi perasaanku jadi lebih baik.

“Slompret, lu!” ujarku sambil menoreh sedikit adonan kue blackjungle di hidungnya.

“Bwahhahahaha! Sukurin tuh kukasih jerawat!” aku tergelak tertawa. Dewi terlihat lucu sekali dengan muka begitu. Dan... aku bisa merasa nyamaaaaaaaaaaaaaaaan sekali dekat dengannya. Meski kita satu kelas, tetapi aku tidak pernah banyak tingkah di kelas. Ngobrol sama Dewi pun belum pernah, maksimal juga hanya menyapanya sambil tersenyum. Dan sekarang, kesempatan itu akhirnya datang juga..

Tak terasa..
30 minutes past with all the happiest think... (susah untuk kuceritakan, karena... sangat happy)

“Phew! Akhirnya selesai juga, ya Iam! The special of Blackjungle for the special birthday...” ujar Dewi, aku mengangguk.

“And from the special couple...” gumamku.

“Kamu bilang apa? Couple??” tiba-tiba Dewi mendengar gumamanku. Aku hampir tersedak liurku sendiri, ingin kutarik rasanya ucapan yang tak sengaja tadi. Dewi menatapku curiga dengan tatapan apa-yang-kau-sembunyikan.

“Uh.. oh, maksudku Bu Lastri sama Pak Anis. Couple, siapa lagi kalau bukan mereka? Yuk bungkus kadonya..” ujarku berusaha untuk tidak memusingkan gumamanku tadi dan mengalihkan perhatiannya.

“Apa maksudnya ’Uh.. oh’? William?” Dewi rupanya tidak menganggap gumamanku tadi hanya lelucon, dia menginterogasiku, dahinya berkenyit setelah mendengar penjelasanku yang agak grogi.

“Oh..” desahku. Ini kesalahan FATAL! Bagaimana jika Dewi marah? Atau dia kesal? Dan tidak mau dekat-dekat denganku lagi??? Sekonyong konyong perutku mulas.

“William... dari tadi kuperhatikan kau selalu aneh. Gagu pas aku dateng, tiap mau ngomong musti aku dulu yang mulai, kamu gagap dan... seolah kamu bukan William yang sesungguhnya. Kamu ada trouble sama aku?” tanya Dewi dengan lembut. Kernyitan di dahinya sudah menghilang, tapi dia tampak tidak suka dengan sikapku ini. Rupanya yang aku rasakan sebagai happy baginya adalah suatu peculiarly.

“Engg... enggak kok, Dew. Gue cuma... gue cuma mau ngasih tahu kalo sebenernya gue ngefans sama loe...” sekonyong-konyong, entah darimana asalnya, aku ngomong di bawah kesadaranku. Tatapan Dewi rupanya mampu menghipnotis!

Lima detik kemudian, keheningan menjalar.

“Well, William.. kalau itu yang pengin kamu sampaikan dari tadi. Kenapa kamu nggak bilang dari dulu?” tanya Dewi lembut. Blackjungle yang kupegang sudah kutaruh di meja.

“Dew. Gue nggak bermaksud jadi pengecut, gue cuma nggak mau kalo loe nggak jadi temenku lagi gara-gara gue suka sama loe. Itu aja..” terangku.

“William.. William.. aku tahu perasaan kamu. Aku ngerti sepenuhnya dan... sekarang aku jadi tahu semuanya... William, aku nggak akan nganggep kamu pecundang kok, kuhargai reasonmu itu. William, asal tahu aja, aku juga suka sama kamu!”

WHAM! WHAM! WHAM! Aku pasti tuli mendadak. Aku pasti salah dengar. Aku pasti mimp...

“Aku pengin selalu kayak gini..”

Dewi mengulangnya. Enggak! Ini pasti suatu human error! Aku yakin 90% ini pasti hanya lamunanku saja. Ayo bangun, bodoh!

“William?” Dewi mengibas-ibaskan tangannya di depan mataku. Aku tercekat. Ini bukan lamunan. Ini kenyataan.

“Oh... ya, maaf gue agak shock... Loe nggak serius kan?” tanyaku was was.

“William, gue serius. Gue pengin seenggaknya kita jadi sahabat, tapi kalau bisa lebih, kenapa enggak?” Dewi menatapku dalam-dalam. Rambutnya sedikit berkibar. Situasinya adalah: Dewi justru menyatakan perasaannya padaku, bukan aku yang menyatakan perasaanku padanya. Layakkah aku ini disebut sebagai seseorang berkepecundangan sejati?

“Dew. Gue nggak nyangka, cewek yang sel...”

“Aku tahu, Iam. Aku juga nggak nyangka ternyata selama ini kita backstreet dari perasaan kita. Dan Iam, aku pengin kamu buktiin ke aku kalau kamu memang suka dan sayang sama aku..”

GLAGADUAR!! Petir menyambar di siang bolong. Dewi si cewek istanasentris mulai mengujiku. Sebagai bukti bahwa aku bukanlah pecundang, tidak ada pilihan lain bagiku selain harus menjawab:

“Dew, bukti apa yang loe mau, kalau gue sanggup, pasti gue bakalan lakuin..”

“Iam, aku pengin kamu nyatain perasaan kamu ke aku dengan satu kata saja. Aku sudah nyatain segala perasaanku ke kamu. Kamu belum sama sekali kan? Aku pengin dengar perasaanmu itu cukup dengan satu kata. Aku percaya dengan begitu kita akan jauh lebih nyaman, sebab kamu tidak perlu panjang lebar mengumbar janji yang mungkin bisa kamu ingkari...”

Dewi mengakhiri penjelasannya dengan mendesah panjang. Nyatain perasaan dengan satu kata? Ah, gampang... pikirku.

“Oke, Dew. Beri aku waktu secukupnya, dan aku akan nyatain itu ke kamu...”

Dewi tersenyum masam. Blackjungle yang tergeletak di meja kemudian kita bungkus bersama. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku pada Dewi, begitu juga dia. Tangan kami saling beradu saat mengikatkan pita. Dan hingga saat Bu Lastri pulang, kami harus berpisah. Ada segelintir perasaan yang memberontak, ketika aku tidak mau berpisah dengan Dewi.


Keesokan harinya.

Hari ini libur! Wah, nggak ada yang lebih menyenangkan ketika libur tryout anak-anak kelas 9. Wah hahaha! Inilah kemenangan sejati yang kudapat dengan rasa puas (kayak dari perang aja, seeh). Tapi masih ada satu perang. Hari ini adalah deadline untuk menyatakan perasaanku pada Dewi. Aku masih menimang-nimang pen di tanganku.

Dan sebelumnya, patut kau ketahui ...
1 jam sudah kulewatkan untuk memikirkan:
Bagaimana mengutarakan I Love You dengan satu kata?????

Ternyata pikiranku terlalu pendek waktu itu. Kukira menyatakan perasaan dengan satu kata sangaaatlah MUDAH. Dan...kau bisa lihat tinta penku sudah berkurang 1 cm dari semula, tumpukan gumpalan kertas menggunung namun sementara itu: Aku belum bisa menyatakan cinta dengan SATU kata.

Help me, bro!

Dan jangan kamu kira aku nggak mahir. Aku sudah berulangkali menyusun kata-kata agar bisa menjadi SATU kata saja, contoh:

AKU SAYANG KAMU

ASAYANGMU
Ini sih akronim amatiran yang malah bisa jadi organisasi arisan ibu-ibu!

LOVE YOU

LOVYU
Dia nggak bakalan paham dong! Lagian itu kalau didengar tetep aja masih 2 kata.

AKU MENCINTAIMU

KUMENCINTAIMU
Bodoh, ini sih bukan 1 kata, tapi sebuah kata yang diberi imbuhan...

Dan... masih banyak lagi yang tentunya nggak bakal muat kalau aku tulis semuanya. Ini semua sangat merisaukan, sampai-sampai aku berpikir, jangan-jangan aku nggak 100% sayang sama Dewi. Phew! Gimana neeehh...!

Triiitit..
*1 message received*

Kugamah hapeku dan kubuka. Rupanya dari Dewi.

Siang, iam. Gmn? Udah bs blm? Q mau hr ni u k tmptq, ttg bisnis qt hrs dislesaikn hr ini jg. Q g mau klamaan nggu..
Sender – Dewi +6285292741750


Oh My....!!
Dewi sudah menagih syarat itu ke aku. Dan aku sama sekali belum menemukan jawaban yang tepat. Harus kubalas apa aku nggak tahu!! Sekonyong-konyong, kupencet tombol di hape.


*Reply message*
*Reply with: Text message*

Halo jg, Dw. Oke, aku bakal kesana. 15pm g klamaan kan?

*Send*
~message sent!~

Konsentrasiku mendadak jadi buyar. Aku nggak tahu musti gimana. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kusemangati lagi diriku menyusun kata.

Tunggu!

Menyusun kata??

Hei! Kenapa ini enggak terpikirkan sama sekali?? Mengutarakan perasaan nggak musti pakai kata-kata. Iya kan???

YUP! INILAH JAWABANNYA!

Dengan kembali bersemangat, kulempar penku dan aku keluar menggenjot sepedaku menuju 2 tempat yang akan menjadi sumber pencerahan!

***

Blossom’s Public Library

Papan nama itu kecil, tapi dibelakangnya beridiri bangunan megah nan mewah. Perpustakaan! Itu adlah tempat pertama yang akan menjadi sumber pencerahanku!

Setelah menitipkan tas, aku segera masuk dan menuju ke rak buku dengan label “Macam-macam Bahasa”. Di dalamnya terdapat lusinan buku.Tanganku mulai hunting buku yang tentu kalian juga penasaran apa.

CHAP CHAP CHAP CHAP... tanganku bergerak cepat menyisir buku...
Practice French on 7 hours, Expert & Imediatelly! (menarik, tapi bukan itu yang kubutuhkan)
CHAP CHAP...
English Course for TOEFL (akan kubaca 4 tahun lagi setelah lulus SMA)
CHAP CHAP CHAP...
Bahasa Jawa kagem Madya (kucoba lain waktu)
CHAP CHAP CHAP...
Belajar Bahasa Latin (cocok saat menyaksikan soap opera)
CHAP CHAP... dan.....
Bahasa Bunga untuk Sahabat

Ini yang kucari dan SYUKURLAH! Ternyata masih ada.

Ya, aku mencari bahasa bunga yang tepat untuk menyatakan perasaanku. Tentang kata apa, sudah kutemukan. Yang kubutuhkan hanyalah atribut lain selain imbuhan me-, ke-, pe- dan –an. Segera saja kucari tempat duduk untuk mulai membaca buku itu.

Bahasa Bunga untuk Sahabat.
Buku ini dirancang untuk..*bla bla bla*..Selamat membaca!

*halaman 1*
Apakah Bahasa Bunga itu? (kelewatan! terlalu banyak prolog rupanya)
SCRAP SCRAP SCRAP... kubalik buku itu


*halaman 43*
Daftar Bunga dan Maknanya.
Berikan bunga dan katakan yang kau rasakan padanya!

Bunga Alpino ... (tak sempat kubaca)

...B

...C

...D

Bunga Edelweis... *blah blah blah*... bunga ini sebagai pengingat tentang kenangan yang berharga.

Bunga Flamboyan... bunga ini dipakai saat kita sedang sedikit kacau *blah blah*...

..G...H....I...J...K...L....
Bunga Ma???? (tulisannya sudah luntur, buku ini sudah tua sih) ... sebagai tanda kita marah pada sahabat kita...
Bunga Mawar ... sebagai tanda kita sayang dan ingin bersama dengannya... (ini sih sudah kutahu, tapi aku ingin yang lain, mawar terlalu ordinary, kugerakkan mata ke bagian atas lagi)
Bunga Lilly ... *blah blah* ... tanda bahwa kita rindu
Bunga Kertas ... tanda bahwa kita ingin bersahabat dan menjadi kekasihnya..
EXACTLY!! Ini yang kucari: Bunga Kertas!!

Dengan mantap segera kukebut sepedaku, kutuju ke tempat terakhir sumber pencerahanku.

FLORA FLO’S SHOP
Nah, kali ini ini aku sudah tiba di toko bunga paling komplit di kotaku. Dengan tergesa-gesa kutanyakan bunga kertas pada seorang pelayan. Dia menunjukkan berbagai jenis bunga kertas. Dan aku tertarik pada yang warna kuning, warna itu terkesan sangat ceria.
“Yang itu aja mbak..” ujarku.
“Oke, dik..” jawab mbak-mbak pelayan.
Tanpa babibu, kubayarkan langsung kembang itu dan kukebut spedaku menuju rumah Dewi. 14.45pm. Tinggal ¼ jam lagi!
***

Tok.. tok.. tok...!
Kuketuk pintu dan... Dewi muncul! Dia tersenyum masam, wajahnya yang putih kemerah-merahan, dia baru dari luar rupanya, kacamatanya sedikit turun dan rambut pirangnya berkibar. Oh, Dewi... Capek ku mendadak hilang!!

“Met Sore, Dew!” sapaku.
“Sore, Iam... duduk yu..!” tawarnya dan aku mengangguk mengiyakan.
“Dew, gue bakal nyatain itu sekarang... Gue nggak mau bertele-tele, seperti keinginan loe...”
“Iya, Iam... terus apa?”
Aku menghela napas panjang, bunga kertas itu kusembunyikan di dalam tasku (sudah kubungkus rapat-rapat biar tidak hancur). Kuraih bunga kertas kuning menyala itu.
“UNTUKMU!”
Exactly! Itu adalah 1 kata yang cukup mewakili perasaanku karena sudah kutambahi dengan bunga kertas!
Dewi rupanya tahu soal bahasa bunga. Dia langsung tersipu, telinganya memerah dan disambutnya bunga dariku itu. Dewi kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
“Iam, thanks ya... Sudah kuduga kamu bakalan ngasih aku ini... Tapi Iam...”
Aku berkernyit sedikit, kata ‘tapi’ adalah sesuatu yang bisa menjadi bencana!
“Setelah kupikir, aku sayang kamu sebagai sahabatku. Aku tahu ini berat, tapi jujur, aku nggak mampu ngebohongin perasaan aku kalau aku cuma pengin jadi sahabat akrab kamu.. Kamu nggak marah kan?”
DEG! Panah menghunus tepat di bagian dadaku! Aku tak tahu musti ngomong apa. Aku terdiam sesaat dan kemudian..
“Dew. Jujur, aku juga hanya seorang dreamermu. Nggak mungkin bagiku menjadi lebih padamu. Aku juga takut, kalau kita pacaran nanti, justru banyak masalah yang akan datang. Dew, aku pengin kita sahabatan juga... Paling enggak predikat dreamer itu kuganti jadi sahabat setia..”
Kataku. Aku sempat terbata. Dewi kemudian membuka genggaman tangannya, yang tadi ia keluarkan dari kantongnya.
“Iam.. ini adalah gantungan kunci yang tadi aku beli. Nggak mewah memang, tapi aku pengin kamu jaga ini dan simpan baik-baik, sebab itu adalah tanda persahabatan kita dimulai dari sekarang dan akan abadi selamanya..”
Kuterima gantungan kunci berwarna perak dan berbentuk kristal itu. Aku tersenyum pada Dewi, lega sekali rasanya. Aku cinta pada Dewi. Tapi rupanya aku hanya cinta ingin menjadi sahabatnya. Ha! Ha! Aku puas sekarang!
“Dewi jelek! Liet tuh ada ulet di kembangnya!” celetukku sambil menunjuk ke bunga kertas kuning menyala itu.
“Aw! Mana! Ih Kurang ajar kamu!” Dewi memekik sambil menjatuhkan bunga di meja.
“Hahaha! Satu monyet ketipu! Nye nye nye nye!” aku mencubit pipi Dewi dan lari memutari halaman rumah Dewi. Dewi mengejarku, sambil tergelak tertawa-tawa, aku main kejar-kejaran dengan Dewi. Hmm.. lebih tepatnya: dengan sahabat sejatiku,
Sekarang aku tahu. Bunga kertas.. adalah bahasa untuk sahabat sejati.

***