Letting Go

LETTING GO


“Maaf Ma’am. Kami sudah berusaha yang terbaik.”


Kalimat itu diucapkan oleh seorang dokter botak berkacamata dengan ekspresi datar, seolah hanya memberitahukan jadwal periksa gigi. Kate merasa seluruh darah menguar dari tubuhnya, lantai tiba-tiba terlalu lunak untuk berpijak. Dunia berputar, dan detik berikutnya dua orang perawat memegangi kedua lengannya, menuntunnya ke kursi plastik berwarna biru muda yang sudah lebih dari familiar baginya.


“Sebaiknya Anda duduk dulu,” kata seorang perawat di sisi kanannya.


Ini membangunkan kembali otak Kate. Ia menarik lengannya dengan kasar. “Tidak!” bentaknya. Suaranya terdengar agak serak dan bergetar, cairan asin mengalir ke dalam mulutnya saat ia bicara. Kate mengusap wajah. Sejak kapan dia menangis?


“Aku ingin melihatnya,” kata Kate pada si dokter, setelah usahanya mengelap airmata berakhir sia-sia.


“Ma’am, sebaiknya....”


“Bawa aku ke tempat suamiku. Sekarang.” Ini bukan permintaan, ini perintah. Mereka baru saja memberitahu Kate dengan tenang bahwa suaminya meninggal, dan sekarang mereka mencegahnya untuk melihat wajah sang suami untuk terakhir kali? Jangan harap.


Dokter itu mendesah dan mengangguk, memberi isyarat Kate untuk mengikutinya. Mereka berjalan sepanjang lorong pendek menuju sepasang pintu, dua perawat yang tadi masih setia mengekor di belakang Kate, seakan setengah berharap Kate akan pingsan. Ia ingin sekali membentak kedua perawat itu, yang berjalan begitu dekat hingga Kate bisa merasakan gelitik seragam mereka di punggungnya. Tapi ia tidak punya kekuatan untuk membentak, bahkan untuk menoleh pun ia tak sanggup. Seluruh kekuatannya difokuskan untuk menghadapi apa yang ada di balik pintu.


Mereka berempat tiba di depan pintu. Si dokter memegang kenopnya, tapi tidak langsung membuka. Ia menatap Kate, meminta persetujuan. Masih ada waktu untuk mengubah keputusanmu, pandangannya berkata pada Kate. Wanita itu membalas dengan mengangkat dagu tinggi-tinggi, menunjukkan keberanian. Cepat atau lambat ia toh harus menghadapi ini. Lebih baik ia bertemu suaminya sekarang, sebelum keberaniannya tenggelam dalam duka. Dokter itu mengangguk lagi, anggukan simpati; membuka pintu dan mempersilahkan Kate masuk.


Aroma steril langsung menyergap hidung Kate. Setiap sudut Rumah Sakit selalu berbau sama, tapi entah kenapa di ruangan ini aromanya lebih tajam. Jendela di seberang ruangan tertutup tirai biru muda, hanya sedikit lebih tua dari warna temboknya. Selalu seperti itu. Rumah Sakit selalu identik dengan warna biru muda. Mungkin untuk memberi kesan terang, bersih atau steril. Tapi bagi Kate, warna itu mewakilkan banyaknya airmata yang telah tumpah di tempat ini.


Sebuah ranjang diletakkan di tengah ruangan. Ada sesuatu yang berbeda dari ranjang itu. Benda itu tidak lagi dikelilingi mesin-mesin penunjang hidup, selang-selang infus, dan monitor. Tidak jika orang yang membutuhkan benda-benda itu tidak bisa memakainya lagi. Kate beringsut mendekati ranjang, mendekati sosok tubuh yang tertutup selimut – lagi-lagi biru muda – sampai kepalanya. Tiba-tiba Kate merasa kakinya begitu lemas, ia butuh duduk. Namun kursi di samping ranjang yang biasa didudukinya ternyata telah berpindah ke seberang ruangan. Seseorang pasti telah memindahkannya saat berusaha menyelamatkan Jensen. Kate hanya bisa menyangga dirinya ke meja mungil di sebelahnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya membuka selimut dengan gemetar.


Dia hanya tidur. Itulah pikiran pertama yang terlintas di benak Kate. Wajah belahan jiwanya tampak begitu damai; mata terpejam erat, bulu mata lentik menyapu kulit pucat di bawahnya. Kate mengelus rambut coklat gelap suaminya, merasakan kelembutan di bawah telapak tangannya. Jari-jarinya menyusuri pipi tirus pucat, terus ke bibir penuh yang kini mulai kering dan membiru. Hangat. Kulit suaminya masih hangat. Bibirnya masih hangat. Dia hanya tidur.


“Bangun,” bisik Kate, mengguncang pelan tubuh tak bergerak di hadapannya. “Jensen, bangun.”


Mata hazel Jensen tetap terpejam.


“Bangun, Jensen....” Kate mengguncang lebih keras. “Bangun. Ayo bangun. Ini tidak lucu, Jen. Bangun. Bangun. BANGUN!” ia mengguncang tubuh Jensen begitu keras sampai-sampai ranjangnya bergoyang. Kedua perawat yang sedari tadi mengawasi langsung menariknya menjauh. Kate menjerit liar dan memberontak, tapi mereka tetap mempertahankan cengekraman besi di kedua lengannya.


“Jensen, bangun! BANGUN! JENSEEENN!!!”


Ratapan merananya menyayat dalam ruangan itu.


* * *


Kate membuka mata, menatap langit-langit kamar yang dipenuhi garis-garis sinar matahari dari jendela. Sejenak ia tidak bergerak, nafasnya tersengal-sengal, airmata masih menetes dari sudut mata ke pelipisnya. Mimpi?


Ia berguling ke samping untuk memastikan. Jantungnya berdesir menyakitkan melihat tempat kosong di sampingnya. Seolah tak percaya, Kate mengulurkan tangan menyentuh seprai. Dingin. Tidak ada seorang pun yang tidur di situ. Semuanya nyata. Jensen telah pergi, meninggalkan Kate sendirian di dunia. Meninggalkan istri yang baru dua tahun dinikahinya. Hati Kate terasa hancur, diremasnya seprai erat-erat ketika airmata terus mengalir, membasahi wajah, membasahi bantal.


“Kitten?”


Tangis Kate berhenti seketika. Apakah... apakah aku hanya membayangkan suara itu? Kate berbaring diam di posisinya, menahan nafas. Menunggu sambil terus berdo’a. Tuhan, kumohon, jangan biarkan aku hanya membayangkan suara itu!


“Kitten? Kamu menangis?”


Kali ini Kate berpaling ke arah sumber suara. Di sana, di depan jendela, Jensen duduk di kursi roda dengan selimut menutupi kakinya. Rambutnya berkilau keemasan ditimpa cahaya matahari, yang juga membuat kulit pucatnya tampak lebih segar, lebih hidup.


“Jensen?”


“Ya, Kitten. Ada a....”


Jensen tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Kate sudah keburu menghambur memeluknya. Ia mencium dengan sayang seluruh bagian kepala Jensen yang bisa disentuhnya – rambut, pipi, dahi, mata, bibir. Menghirup dalam-dalam aroma Jensen, memeluknya erat-erat meskipun Jensen terlalu shock untuk balas memeluknya. Setelah puas ia menarik diri untuk menatap wajah tampan di hadapannya.


“Jensen,” desahnya penuh rasa lega. Ia tersenyum dan mengelus pipi suaminya. “Jensen.”


“Ya,ya,ya, Kitten,” jawab Jensen lembut. Airmata Kate mengalir lagi, berkilauan seperti kristal. “Kenapa menangis?”


“Aku mimpi buruk,” jawab Kate, bersandar ke dada Jensen.


“Begitu?” Jensen terdengar penuh pengertian. Kate tahu Jensen tahu mimpi buruk macam apa yang dialaminya, dan bersyukur Jensen sangat memahami sehingga ia tidak bertanya.


“Tidak penting lagi sekarang,” gumam Kate ke dada suaminya. Tidak penting seburuk apa mimpinya, yang penting adalah Jensen masih di sini untuknya, menawarkan kenyamanan, saat ia terbangun. “Hei, kenapa kamu bangun pagi sekali?” Kate mengalihkan topik pembicaraan.


“Sekali-sekali aku ingin lihat Putri Tidur,” jawab Jensen jenaka.


Kate tertawa. Tawanya diselingi sedikit isak, dan agak terlalu histeris, tapi tetap tawa. “Kita sarapan, yuk?” ajaknya sambil bangkit dari posisi berlututnya di depan Jensen dan menyelipkan diri ke belakang kursi roda, mendorongnya keluar kamar.


“Mau sarapan pakai apa?” tanya Kate sesampainya di dapur. “Ada omelet, sosis, sereal, dan roti bakar. Mau yang mana?”


“Mau sup tomat,” jawab Jensen dari tempat duduknya di meja makan.


“Tidak ada dalam opsi.”


“Pokoknya sup tomat.”


“Jen....”


“Sup ayam juga boleh deh.”


“Keras kepala ya, kamu,” kata Kate, melipat tangan di dada sambil pura-pura cemberut.


“Keras kepala juga ya, kamu,” ulang Jensen.


Kate tertawa. “Oke, oke. Kamu menang. Kubelikan sup tomat instan, ya? Kamu tidak apa-apa kan menunggu sendirian?” tanya Kate sedikit khawatir sambil mengantongi dompetnya yang diletakkan di atas kulkas.


“Kitten, toserbanya cuma dua blok dari sini. Dan aku bukan anak tiga tahun.”


“Iya, iya,” kata Kate, memutar bola mata. Ia sudah setengah jalan menuju pintu ketika berbalik untuk memeluk dan mencium Jensen lagi.


“Kenapa sih kamu ini?”


“Cuma pingin saja,” jawab Kate, nyengir. “Coba kamu panggil aku lagi.”


“Kitten?”


“Lagi.”


“Kitten.”


Kate mencium bibir Jensen. “I love you, Jen.”


“I love you too,” jawab Jensen otomatis. Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, “hari ini kamu aneh.”


* * *


Toserba memang hanya dua blok dari rumah mereka dan pagi itu belum banyak mobil berlalu lalang yang menghambatnya, tapi Kate tetap berlari-lari kecil sepanjang jalan. Ia tidak ingin meninggalkan Jensen lama-lama sendirian. Kate sedikit terengah-engah ketika membuka pintu kaca toserba yang, seperti biasa, dijaga oleh Perry Hudson, pemilik toserba sekaligus mantan pacar Jensen di masa SMA dulu.


“Selamat da... tang,” kata Perry, senyumnya langsung memudar ketika melihat siapa tamunya pagi ini.


“Pagi,” sapa Kate sekadarnya. Hubungannya dengan wanita berambut hitam ikal itu memang tidak pernah terlalu baik.


Kate buru-buru mengambil keranjang belanja dan menyusuri rak-rak. Diambilnya sup tomat instan pesanan Jensen, ditambah sekotak susu, lalu segera menuju kasir. Ia tidak terlalu suka berbelanja di tempat ini. Ia selalu merasa Perry mengawasi tiap gerak-geriknya dengan sepasang mata elang di balik kacamata kotak, menunggu Kate mengantongi sebungkus permen diam-diam agar bisa melaporkannya ke polisi.


Kali ini pun tidak berbeda. Sambil memasukkan belanjaan Kate ke kantong plastik, Perry menatap Kate dengan pandangan aneh, bertanya ragu, “kamu tidak apa-apa?”


“Memang kenapa?” tukas Kate, lebih sengit daripada seharusnya. Apa maksud Perry bertanya seperti itu? Memangnya apa yang.... Kate melirik bayangannya di pintu kaca dan segera menyadari penyebab pertanyaan Perry. Penampilannya benar-benar berantakan. Bekas airmata mengering di pipinya, rambutnya kusut acak-acakan, mata semerah darah. Oh, dan jangan lupakan bahwa TERNYATA dia datang ke toserba hanya memakai baju tidur dan sandal toilet. Semua ini gara-gara mimpi buruk yang dialaminya tadi. Kate terlalu senang semua itu hanya mimpi dan tidak fokus pada hal lain.


“Tidak apa-apa. Malam yang buruk, itu saja,” Kate menambahkan dalam gumam, menghindari kontak mata dengan si kasir. Ia membayar tanpa peduli jumlah uang yang diserahkannya, menyambar belanjaan, dan bergegas pergi.


* * *


“Sesuap lagi, Jen.”


“Kenyang.”


“Ayolah, sesuap saja. Aku sudah capek-capek membelikanmu sup, masa cuma dimakan tiga suap?”


“Delapan suap.”


“Yah, kau tahulah maksudku.” Kate memutar bola mata. Andalkan Jensen untuk selalu menemukan topik debat konyol. “Ayo, aaaa....” Jensen tetap mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tidak menghiraukan isyarat istrinya. Kate jadi agak kesal dan menjejalkan sendok sup pada Jensen, yang akhirnya terpaksa menelan juga.


“Nah, begitu bagus.... Oh Tuhan!” pekik Kate ketika Jensen mulai muntah-muntah. Ia meraih lap makan dari atas meja, mengelap mulut, tangan, dan baju Jensen dengan hati-hati.


“Aku kan sudah bilang kenyang,” desah Jensen.


Rasa bersalah menghantam Kate bagaikan godam. Ia menunduk, airmata mengaburkan pandangannya. Ini ketiga kalinya dia menangis sepagi ini. Kelenjar airmatanya sedang sangat produktif atau apa?


“Maaf,” bisiknya, “aku cuma ingin kamu makan.” Karena Jensen tidak pernah banyak makan setelah tumor yang bersarang di otaknya mulai menyerang. Karena dia jadi mual akibat semua terapi dan ribuan obat yang dimasukkan dokter ke tubuhnya. Karena Kate sudah lama sekali tidak melihat Jensen melahap makanan di hadapannya seolah itu adalah makanan terenak yang pernah dicicipinya, karena sekarang suaminya hanya tinggal tulang berbalut kulit.


“Kitten, hei. Sudahlah, jangan nangis. Kamu bikin aku sedih, tahu.”


“Maaf,” isak Kate, mengusap airmatanya.


“Dan berhentilah minta maaf.”


“Oke, maaf – uh, maaf, maksudku... sori... uh....” Kate gelagapan sendiri. Jensen tertawa. Kate ikut tertawa juga, masih sambil berurai airmata. “Mesin bicaraku rusak, sepertinya.”


“Makanya jadi orang jangan cerewet.”


“Aku tidak cerewet.”


“Ya.”


“Tidak.”


“Ya.”


“Tidak.”


“Tripel ya.”


“Dobel tidak kali dua.”


“Ha, bilang saja kamu tidak tahu istilah setelah ‘tripel’.”


“Aku tahu kok.”


“Apa coba?”


“Rahasia.”


“Tuh kan....”


Satu hal yang paling disukai Kate dari Jensen adalah ia selalu menemukan cara untuk menghibur Kate, entah itu dengan bertingkah konyol, mengacaknya bercanda, atau sekedar memancingnya beradu mulut. Mereka masih saling melontarkan argumen ketika Kate mendorong Jensen ke kamar untuk mengganti bajunya yang kotor. Sebagian besar topiknya tak berarti, hanya sekedar saling lempar jawaban, sebagian lagi diisi percakapan tentang hal-hal trivial. Mereka tidak membicarakan penyakit Jensen, atau mimpi Kate, atau Perry (bukannya mereka sering membicarakan cewek itu sih). Hanya bicara; Kate melepas baju tidur biru Jensen, menggantinya dengan kaus oblong dan celana longgar; sambil mendengarkan suara bariton Jensen, menjawab komentarnya hanya agar Jensen terus bicara. Itu terasa menyenangkan, perasaan Kate jadi terasa lebih ringan, sejenak ia melupakan ketakutannya akan kehilangan Jensen.


* * *


Sisa hari itu mereka habiskan di dalam rumah. Mereka beradu dalam Grand Thef Auto, yang dimenangkan Kate dengan mudah. Sebenarnya Jensen bisa saja menjegal Kate dalam satu ronde, tapi hari itu istrinya sedang sangat sensitif, menangis hanya karena hal-hal kecil, jadi Jensen membiarkannya menang. Kate membuat salad untuk makan siang, tapi Jensen tidak menyentuhnya – dia sedang tidak mood dengan makanan, apalagi sayur mentah tak berkuah. Membayangkan harus mengunyah sayuran itu layaknya kelinci saja sudah membuatnya mual.


Mereka berjemur di beranda sore harinya, menikmati hangatnya sinar jingga sebelum menghilang di horizon. Jensen senang mandi matahari, membuat tubuhnya terasa lebih hangat dan rileks. Perry Hudson melintas di depan rumah, baru pulang dari bekerja, matanya terbelalak melihat sepasang suami istri itu. Dia memang selalu cemburu. Belum sempat Jensen menyapa, Kate sudah mendorong kursinya masuk ke rumah.


Menonton film di malam hari sudah menjadi rutinitas, dan kali ini pun tidak terkecuali. Dengan satu selimut tebal menutupi mereka berdua, Kate dan Jensen duduk di sofa, menonton Marley and Me. Gumpalan tisu bertebaran dimana-mana, Kate memeluk tempat tisu yang nyaris kosong, berkali-kali membersit dan mengusap – lagi-lagi – airmata. Jensen tidak mengerti apanya yang sedih dari film itu, dia menonton tiap adegan nyaris tanpa ekspresi, bahkan ketiduran sebelum film itu selesai.


* * *


Bip. Bip. Bip.


“Mrs. Ackles, sudah satu bulan sekarang. Tubuhnya semakin lemah. Dia bahkan sudah tidak merespon perawatan yang kami berikan. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Pilihan terbaik saat ini....” dokter itu tidak melanjutkan kalimatnya melihat perubahan ekspresi wanita di hadapannya, campuran antara tekad putus asa, ketakutan, kesedihan, dan yang paling kentara, kekecewaan. Seolah tim medis di Rumah Sakit ini telah mengkhianatinya dengan ketidakmampuan mereka menyelamatkan suaminya. Ekspresi yang sama telah ditunjukkannya dua hari lalu, ketika dokter memintanya untuk mengucapkan selamat tinggal dan merelakan suaminya.


Bip. Bip. Bip.


“Jensen masih hidup,” tukas Kate keras kepala.


“Hanya karena mesin penunjang hidupnya, Mrs Ackles. Dia tidak bisa bergantung pada mesin selamanya. Anda harus membuat keputusan.”


“Aku tidak bisa.” Kate menelan ludah susah payah. Bagaimana mungkin ia diharapkan untuk membunuh suaminya? Jensen sudah berjuang keras selama ini. Kate sudah berjuang keras selama ini. Dan semuanya harus berakhir sia-sia?


Bip. Bip. Bip.


Bipbipbipbip.....


Kate menoleh untuk melihat monitor-monitor di sekeliling ranjang Jensen, angka-angka menurun drastis, garis-garis zigzag bergerak menggila. Ia tidak menyadari lawan bicaranya bergegas mengecek kondisi Jensen, perawat dan asisten dokter memenuhi ruangan bersama berbagai peralatan medis.


“Apa yang terjadi?!” tanya Kate – setidaknya ia merasa dirinya bertanya, tapi ia sendiri tidak mendengar suaranya. Paramedis bergerak cepat kesana kemari, saling melontarkan istilah-istilah kedokteran yang mustahil dimengerti orang awam. Tiba-tiba sebuah suara biiiip.... panjang menyeruak diantara suara-suara lain. Kate mendongak menatap garis lurus di monitor. Jantung Jensen berhenti berdetak. Suara itu berdengung keras di telinganya, menandakan berakhirnya hidup suaminya.


“Jensen!” jerit Kate histeris. Seseorang mencegahnya meraih sisi ranjang.


“Anda harus menunggu di luar, Ma’am,” orang itu berkata sambil mendorong Kate ke pintu.


“Tidak, tidak. Biarkan aku bersamanya....” Kate berusaha melawan perawat itu, tapi gagal. Detik berikutnya ia mendapati dirinya berdiri di luar ruangan, menatap para dokter berusaha meresusitasi Jensen. Hal terakhir yang dilihatnya adalah tubuh Jensen yang tersentak oleh sengatan elektrik, kemudian pintu tertutup.


* * *


Kate terbangun begitu tiba-tiba sampai kepalanya pening. Ia masih duduk di sofa, TV menyala dengan layar biru. Aku pasti ketiduran, pikirnya. Diusapnya rambut dan wajah untuk menghilangkan bayangan mimpi buruk dari benaknya. Mimpi yang terasa benar-benar nyata. Kenapa aku memimpikan kematian Jensen dua kali berturut-turut? Apakah ini firasat?


Pikiran itu menyalakan alarm dalam diri Kate. Segera ia menengok ke samping, pada Jensen yang masih duduk tertidur. Tapi ada yang aneh dengan cara tidurnya. Kepalanya terkulai lemas hingga dagunya menyentuh leher, mulutnya sedikit terbuka. Kulitnya pucat kelabu, nyaris transparan, dan bibirnya sedikit biru. Kate meremas tangan Jensen dan merasakan dingin menyesap ke kulitnya. Ia menyentuh leher Jensen untuk merasakan nadi, dan ketika tidak menemukannya, Kate langsung terkena serangan panik.


Kate melompat dari sofa, terserimpet selimut, jatuh menabrak meja hingga vas di atasnya jatuh dan pecah. Tapi ia tak peduli, tergesa-gesa ia berlari mencari telepon. Ia harus menghubungi 911. Dalam kepanikannya mendapati kondisi Jensen ia tidak bisa berpikir jernih, lupa di mana meletakkan teleponnya. Kate mengobrak-abrik meja makan; membalik semua meja, siapa tahu benda itu jatuh di kolong; mencari di antara tumpukan cucian karena ia memiliki kebiasaan mencuci sambil menelepon; bahkan sampai menurunkan semua buku dari rak dan mengosongkan lemari bumbu, siapa tahu secara ajaib benda itu bersembunyi di sana. Sambil terus mencari, otaknya terus menjeritkan kematian Jensen, membuatnya semakin frustasi, ia menangis histeris, sesekali menjambak rambutnya dan terus mengecek setiap sudut ruang yang terpikir olehnya.


Akhirnya, setelah rasanya berjam-jam, Kate menemukan telepon itu terselip di antara sofa tempat dia tertidur tadi. Tangannya gemetar hebat sampai-sampai ia butuh empat kali mengulang sebelum berhasil menekan nomor darurat.


“911,” jawab seorang wanita di seberang.


Mulut Kate terasa kering, ia tidak mampu bicara. Nafasnya yang cepat dan berat menderu di telepon.


“Halo?”


“Ha... ha... halo,” Kate mendengking, “aaa... ak.. aku... suamiku...” ia tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang tergambar jelas dalam otaknya. Ada sebagian kecil dari dirinya yang menyadari sia-sia saja menelepon 911 kalau Jensen sudah meninggal. Tapi sebagian yang lain begitu putus asa, menjerit meminta pertolongan, ia ingin percaya bahwa dengan menelepon 911, akan datang orang-orang yang secara luar biasa mampu menghidupkan Jensen kembali. Kate terdiam begitu lama, hanya memegangi telepon di telinganya, tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan dari operator wanita itu.


Dan kemudian, ia mendengar desah nafas.


“Kitten, kamu sudah bangun?”


Kalau Kate menengok lebih cepat lagi, mungkin lehernya akan patah. Di sampingnya Jensen tampak cemas, wajahnya terlihat pucat dan sayu, tapi dia hidup. Barusan dia bertanya apa istrinya baik-baik saja. Kate sampai tidak bisa bernafas saking senangnya.


“Oh, Jensen!” serunya penuh kelegaan, merangkulkan kedua lengan ke bahu Jensen dan menariknya dalam pelukan sayang. Telepon tergeletak terlupakan di sofa. Bukannya itu menjadi masalah, karena agaknya sang operator juga telah memutuskan sambungan dari ‘orang iseng’ yang menelepon 911 tapi tidak berkata apa-apa.


“Siapa yang kau telepon?” Suara Jensen sedikit teredam di dalam pelukan istrinya.


“911.”


“Apa? Kenapa?”


“Aku....” Kate menatap wajah suaminya, bimbang antara memberitahu atau tidak tentang halusinasi kematian Jensen. “Wajahmu pucat sekali. Aku pikir kamu sakit,” jawabnya setengah berbohong. Dielusnya pipi Jensen yang seputih pualam, kulitnya masih terasa dingin, ada lingkaran-lingkaran hitam di bawah matanya.


Jensen terkekeh pelan, yang berubah jadi batuk kecil. “Tidak usah ke Rumah Sakit,” katanya menenangkan, “aku cuma capek.”


“Istirahat di kamar saja ya?” ujar Kate sambil membantu Jensen bergeser ke kursi rodanya. Mungkin Jensen kecapekan karena seharian kemarin tidak berbaring, dan kemudian tertidur di sofa tanpa selimut yang layak. Kate ingin menampar mukanya sendiri karena begitu teledor membiarkan Jensen tidur di sofa semalaman. Dan Jensen juga bisa dibilang tidak makan apa-apa kemarin, dia memuntahkan sarapan, melewatkan makan siang, dan menyesap sedikit susu untuk makan malam. Pantas saja tubuhnya jadi sangat lemas, tangannya berpegangan pada Kate nyaris tanpa tenaga.


“Mau sarapan pakai apa?” Kate mengulang pertanyaan rutinnya tiap pagi ketika Jensen sudah berbaring di ranjang, tertutup selimut sampai bahu.


“Tidak lapar.”


“Kemarin kamu tidak makan apa-apa,” desah Kate. Menambahkan, “kamu bikin aku sedih, tahu.” Memang curang menggunakan kata-kata Jensen sendiri untuk menyerangnya, tapi Kate harus membuat Jensen makan.


Setelah diam cukup lama, akhirnya Jensen menjawab dengan enggan, “sup saja deh.”


“Lagi?”


“Ya sudah. Tidak usah.”


“Iya, iya, jangan marah dong.” Kate mencubit hidung Jensen dengan gemas. Mereka berdua terkekeh. “Tapi aku harus beli dulu.” Ia menyesal tidak memborong sekalian satu pak sup kemarin. Ugh, sekarang dia harus menghadapi Perry Si Menyebalkan itu lagi.


“Sudah, sana berangkat.”


“Ngusir nih?”


“Kalau iya kenapa?” Jensen bercanda, tapi Kate bisa mendengar nafasnya agak tersengal menahan sakit.


“Aku tidak akan lama,” Kate meyakinkan Jensen dan mengecup keningnya. “Kamu jangan pergi kemana-mana, ya.”


* * *


Kate bergerak tidak nyaman di antara rak-rak, berusaha menghindari Perry yang menatapnya seolah ia makhluk dari Mars. Kalau Kate tidak mengenal Perry, mungkin ia akan mengira pandangan itu ditujukan pada penampilannya yang ajaib (Kate asal menyambar kemeja dari keranjang cucian dan memakai celana kargo Jensen yang kebesaran), atau pada rambutnya yang kusut belum disisir. Tapi Kate sudah cukup mengenal dan membenci Perry untuk tahu tatapan itu selalu ditujukan padanya sejak ia menikah dengan Jensen. Memangnya kenapa kalau Kate yang bekerja sambilan sebagai model majalah menikah dengan Jensen yang seorang penjaga perpustakaan? Mentang-mentang Perry juga dulu kutu buku, bukan berarti mereka cocok kan?


Kate sengaja meletakkan belanjaannya keras-keras di atas meja kasir, sekedar menggertak Perry. Dia berhasil, wanita mungil itu melompat kaget, wajahnya langsung memucat. Ia menjumlah belanjaan dengan terburu-buru, seolah takut Kate akan menggigitnya.


“Semuanya dua puluh lima dolar,” gumam Perry, menyodorkan kantong belanja tanpa menatap Kate lagi. Kemudian, begitu pelan sampai nyaris tak terdengar, ia berkata, “kemarin aku melihatmu bersama Jensen.”


Kate mendengus. “Ya, aku tahu,” jawabnya,tidak bisa menghindari sedikit nada kemenangan dalam suaranya. “Dia ‘kan suamiku.”


“Ja... jadi itu benar-benar Jensen?”


Ternyata bekerja di toserba membuat otak murid teladan ini berkarat. “Tentu saja. Siapa lagi?”


“Oh, Katie,” desah Perry sok sedih, dan Kate ingin menuntutnya untuk memanggilnya dengan nama panggilan itu. “Kurasa sebaiknya kau membawa Jensen ke....”


Kate sudah mendengar banyak orang mengatakan kalimat yang sama sebelumnya, ia tahu apa yang akan dikatakan Perry sebelum wanita itu sempat mengucapkannya. Tapi itu tidak membuat reaksinya jadi lebih kalem.


“APA MAKSUDMU?!” Kate membentak keras-keras, menggebrakkan belanjaannya ke meja. Perry mundur secara instingtif. “KAU INGIN AKU MEMBAWA JENSEN KE MANA?!”


“Kate, dengar. Aku tahu kau sangat mencintai Jensen. Tapi kau harus sadar, Jensen sudah....”


“Jensen sudah LUMPUH, aku tahu!” salak Kate membara. “Tapi asal kau tahu saja, ya. Kalau kamu pikir aku mencintai dia hanya karena fisiknya saja, kamu salah besar. Aku mencintai Jensen seutuhnya dan aku tidak akan membiarkan mantan pacarnya yang ternyata hanya menyukai dia saat dia bisa berjalan menasehatiku macam-macam. Kamu ingin aku membawanya ke mana – Caring Center? Tidak, terimakasih. Aku bisa merawatnya sendiri.”


Sesaat tampaknya Perry akan menjawab, mulutnya membuka menutup seperti ikan, tapi Kate keburu bertindak. Dilemparkannya kantong belanjaan beserta isinya ke penjaga toko kurang ajar itu, tepat mengenai wajahnya. Kate melengos pergi tanpa repot-repot memungut belanjaannya lagi.


* * *


“Lama sekali,” protes Jensen saat Kate masuk ke kamar satu jam kemudian, membawa baki berisi sup hangat dan susu.


“Tokonya Perry tutup,” dusta Kate, menghenyakkan diri ke kursi. “Aku harus beli di toko lain.”


Seperti hari sebelumnya, Jensen hanya mau makan beberapa suap. Ini membuat Kate semakin cemas, kembali teringat pada mimpinya belakangan ini. Jensen kelihatan sangat lemas dan pucat, dan betapapun dia meyakinkan Kate bahwa ia baik-baik saja, Kate tahu ada yang tidak beres. Apalagi didukung fakta bahwa ia terus tertidur sepanjang hari, hanya bangun untuk meminum vitamin yang diberikan Kate di siang hari.


Kate terus mondar-mandir dalam kamar, mencengeram telepon erat-erat sementara Jensen tertidur. Beberapa kali Kate menekan nomor 911, tapi langsung memutuskan sambungan sebelum nada tunggu pertama berbunyi. Tercabik antara membawa Jensen ke Rumah Sakit atau membiarkannya istirahat di rumah, siapa tahu dia hanya kecapekan. Satu sisi dari dirinya, sisi yang bergerak dengan logika, tahu benar membawa Jensen ke Rumah Sakit adalah pilihan terbaik. Tubuh Jensen sudah melemah, dan penyakit ringan macam flu saja bisa berakibat fatal baginya. Tapi sisi yang lain, sisi yang berasal dari perasaan – dan sayangnya menjadi sisi dominan mengingat ia adalah seorang wanita – mencegah akal sehatnya bekerja. Ia memiliki perasaan aneh, semacam firasat yang kuat, jika ia membawa Jensen ke Rumah Sakit, maka mimpinya akan menjadi kenyataan dan mungkin, hanya mungkin, jika ia tetap menahan suaminya di rumah, maka Jensen bisa hidup lebih lama.


Jensen baru terbangun lagi saat rembang senja. Ia masih kelihatan sama sakitnya dengan tadi pagi dan dia juga tidak banyak bicara, tapi Jensen berkeras untuk bangun dari tempat tidur. Kamar mereka telah dirancang sedemikian rupa untuk memperoleh pemandangan malam yang indah, Jensen dan Kate sering menghabiskan waktu duduk berdua di beranda kamar untuk melihat langit malam. Itu dulu, sebelum Jensen sakit. Setelah banyak menjalani pengobatan ia mulai tidak tahan dingin dan beranda kamar mereka pun terlupakan. Namun sekarang, Jensen ingin mengulang ritual mereka dulu. Awalnya Kate menolak mentah-mentah, tapi akhirnya menyerah juga. Mana tahan ia berkeras menolak permintaan suaminya.


Jadi, malam itu, sekali lagi mereka duduk berdampingan di beranda rumah, Kate memeluk Jensen erat-erat untuk menjaganya tetap hangat meskipun suaminya itu telah memakai tiga lapis baju, syal, dan terbungkus selimut sampai tampak seperti kepompong raksasa. Malam ini cukup mendung, tidak banyak bintang yang terlihat, tetapi inti dari duduk di beranda itu bukanlah melihat bintang. Kate memejamkan mata, menikmati setiap detik kebersamaannya dengan Jensen. Untuk saat ini saja, ia tidak ingin memikirkan prospek kehilangan Jensen untuk selamanya. Setiap hari selama delapan bulan terakhir dihabiskannya untuk bertanya-tanya apakah suaminya masih bersamanya saat ia terbangun dari tidur. Hidupnya terus dipenuhi ketakutan, seolah ia tinggal bersama Dewa Kematian yang meletakkan sabitnya di bawah leher Jensen, siap memotongnya sewaktu-waktu, dan tidak ada yang bisa Kate lakukan untuk mencegahnya. Kate tidak bisa lagi menikmati aktivitasnya karena di satu titik ia pasti teringat pada Jensen dan penyakitnya dan itu membuatnya sedih. Bahkan ada saat-saat, seperti dua hari terkahir ini, di mana ia tidak mampu mengontrol emosinya dan menangis hanya karena menatap Jensen terlalu lama atau melampiaskan kemarahannya pada orang lain yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Atau mungkin Perry tahu. Entahlah. Kate tidak ingin peduli sekarang.


“Aku ingin kita begini terus selamanya,” desah Kate, menenggelamkan wajahnya ke selimut Jensen.


“Aku juga”, jawab Jensen pelan, “tapi tidak bisa.”


Kate langsung duduk tegak. “Apa?”


Beranda itu gelap, Kate nyaris tidak bisa melihat wajah Jensen, tapi Kate bersumpah melihat segaris senyum sedih menghiasi wajahnya yang tampan. “Kita tidak bisa begini terus selamanya.”


Kate berdeham untuk menghilangkan bola bisbol di tenggorokannya. “Tentu saja kita bisa,” katanya gemetar. Namun saat kata-kata itu meluncur dari mulutnya pun, ia tahu betapa omong kosongnya itu semua. “Tentu saja kita bisa.” Mengulangnya dengan lebih lantang tidak membuat kalimat itu lebih meyakinkan.


“Kitten,” ujar Jensen, kesedihan sekaligus kelembutan dalam suaranya membuat airmata Kate mengalir. “Sejak aku sakit kamu tidak bahagia.”


“Itu tidak benar. Aku bahagia bersamamu.” Kate memeluk lebih erat.


“Kamu selalu ketakutan.” Jensen terus bicara tanpa mengindahkan interupsi Kate, “kamu harus merelakanku, Kitten. Dengan begitu kamu bisa bahagia lagi. Aku sayang kamu dan aku ingin kamu selalu bahagia, walaupun itu berarti kamu harus melupakanku. Relakan aku.”


“Bagaimana mungkin merelakanmu bisa membuatku bahagia?!” Kate tersedu, “aku sayang sekali padamu. Aku berjuang untukmu juga, tahu. Semua itu kulakukan karena aku ingin kamu selalu bersamaku. Aku tidak ingin kamu pergi. Sampai kapan pun aku tidak rela.”


“Tapi kamu harus.”


“Tidak.”


“Kitten....”


“TIDAK!” jerit Kate putus asa, suaranya pecah. “Jangan ngomong begitu lagi. Kamu tahu? Selama dua hari ini aku selalu memimpikan kematianmu. Aku melihatmu terbaring di sana, tidak bergerak, kamu tidak bangun walau berapa kali pun kupanggil. Aku....” Kate mengusap wajahnya dengan lengan baju. “... aku tidak tahan membayangkan kamu pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa. Jangan paksa aku.”


“Tapi itulah sebabnya kamu harus merelakanku, Kitten,” bisik Jensen. Kate mendongak menatapnya. Wajahnya yang pucat tampak kabur. “Kamu harus merelakanku. Karena aku memang sudah mati.”


* * *


Seseorang menekan bel terus-menerus, seolah tak sabar menanti si pemilik rumah membukakan pintu. Kate tergopoh-gopoh menuruni tangga dan membuka pintu untuk mendapati dua orang pria berseragam polisi berdiri beberapa senti di hadapannya.


“Mrs Ackles?” tanya salah satu dari mereka, seorang pria empat puluhan dengan kumis tebal yang tampaknya sudah lebih senior dibanding rekannya.


“Ya, ada yang bisa saya bantu?” Kate menatap dua orang itu bergantian dengan cemas. Di balik punggung mereka Kate melihat ada tiga polisi lain berdiri siaga, juga beberapa mobil yang memenuhi jalan depan rumahnya.


“Kami mendapat perintah untuk memeriksa rumah Anda, Ma’am,” kata polisi itu, tanpa basa-basi mendorong terbuka pintu yang kenopnya masih dipegangi Kate dan masuk ke dalam.


“Memeriksa? Memangnya ada apa?” tanya Kate makin bingung, “saya tidak melakukan apa-apa! ini pasti salah paham!”


Polisi itu tidak mengindahkan, bahkan mulai menggerayang rumah seolah ialah penguasa tempat itu. Kate berusaha mencegah pria itu masuk lebih dalam dan melihat privasinya tanpa izin, tapi polisi satunya, yang masih berdiri di ambang pintu, memegangi tangannya erat-erat.


“Sebaiknya Anda tetap di sini, Ma’am,” katanya, matanya sama sekali tidak menyorotkan kebencian sebagaimana polisi biasanya menatap penjahat. Sebaliknya, pria muda itu menatap Kate dengan pandangan.... kasihan? Kenapa polisi itu kasihan padanya?


“Aku tidak melakukan apa-apa, ini pasti salah paham,” ulang Kate. Polisi itu mengangguk, tapi tidak berkomentar apa-apa. Ini membuat Kate tidak puas. “Tuduhan macam apa yang kalian tujukan padaku, sampai-sampai harus menggeledah rumahku di tengah malam buta?”


“Kami mendapat laporan bahwa Anda menyerang seorang penjaga toko saat ia mengatakan suami Anda....”


“Oh, jadi ini semua tentang ITU?!” kemarahan yang tiba-tiba dari Kate membuat polisi itu terkejut, tapi tidak melepaskan cengkeramannya. Kate meledak. “JADI WANITA JALANG ITU YANG MENYURUH KALIAN DATANG KEMARI?! ASAL KAU TAHU SAJA, YA....”


“Aku menemukannya!” teriakan si polisi berkumis dari lantai atas menghentikan perkataan Kate. Otaknya masih belum bisa mencerna situasi ketika polisi di sampingnya meneriakkan hal yang sama pada rekan-rekan lainnya di luar. Segera saja ketiga polisi itu menerobos masuk melewati mereka berdua, naik ke lantai dua dengan berisik.


“Apa yang mereka temukan?” tuntut Kate pada si polisi.


“Suamimu,” jawab polisi itu dengan nada minta maaf.


Kate membelalak. “Apa yang akan kalian lakukan pada suamiku?!” tanpa menunggu jawaban, ia berkutat melepaskan diri dari cengekeraman besi polisi muda itu. “Lepaskan aku!”


“Ma’am....” polisi itu menguatkan cengkeramannya.


“JANGAN GANGGU SUAMIKU!” jerit Kate histeris pada orang-orang di lantai dua. “lepaskan aku! JENSEN! JENSEEENN!!!” ia terus berjuang menyingkirkan jari-jari si polisi dari lengannya.


Entah bagaimana akhirnya Kate berhasil melepaskan diri dan mendorong jatuh polisi itu. Ia seolah terbang menaiki anak tangga, tanpa memikirkan keselamatannya. Ia merasa mendengar suara orang berteriak, memerintah, juga mendengar suara sirene, tapi semuanya terasa kabur di telinganya yang berdenging. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah mencegah polisi-polisi itu melakukan sesuatu yang buruk pada Jensen.


Kate sampai di kamar tepat pada saat dua orang polisi bersiap mengangkat Jensen dari tempat tidur. Kate menerjang dua polisi lain yang berusaha menahannya dan memeluk tubuh Jensen erat-erat, melindunginya.


“Tolong jangan ganggu dia, dia sedang tidur,” pinta Kate pada keempat polisi yang kini berdiri mengelilinginya. Ia mengelus wajah Jensen yang pucat pasi, matanya terpejam. Kate baru saja mengantarnya tidur sebelum para polisi itu datang. Jensen sudah kelelahan dan dia mulai bicara aneh jadi Kate harus menyuruhnya istirahat. Jensen butuh banyak istirahat agar dia cepat sembuh. “Jensen sedang sakit,” jelas Kate, “aku tahu sakitnya cukup parah, tapi aku bisa merawatnya. Kalian tidak perlu membawanya ke mana-mana. Aku bisa merawatnya.”


Si polisi berkumis berlutut di samping Kate, bicara dengan nada halus seperti seorang ibu menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anaknya. Kate tidak perlu mendengar setiap kata untuk tahu apa yang diinginkan polisi itu.


“Jangan bawa dia pergi,” pinta Kate, pandangannya kabur oleh airmata.


Polisi itu bicara lagi, kali ini bukan pada Kate, melainkan pada seseorang yang bru saja datang dan berdiri di sebelahnya. Kate melirik sekilas pada orang itu, seorang wanita berseragam putih yang membawa sesuatu yang mengkilat di tangannya.


“Aku bisa merawatnya sendiri. Aku tidak butuh dokter.”


Wanita berseragam putih itu juga berlutut di sisinya, tersenyum sedih. Kate merasakan sesuatu yang tajam menusuk lengannya.


“Aku tidak bisa kehilangan dia,” isak Kate, “aku tidak bisa hidup tanpanya.”


Ia terus menangis, sampai pada titik ia tak bisa lagi mengontrol kata-katanya, hanya mengeluarkan semacam dengkur merana. Ia merasakan tangan-tangan menariknya menjauh dari Jensen, dan kali ini tak bisa melawan. Kate menatap putus asa pada sosok-sosok gelap yang mengerumuni suaminya, bersiap membawanya pergi. Memisahkannya dari Kate. Pandangan Kate makin kabur, ia mengerjap sekali, dua kali, lalu menyerah pada kegelapan.


* * *


Dua orang wanita muda berjalan menyusuri trotoar kompleks perumahan, masing-masing membawa kantong belanja dan mendorong kereta bayi. Ketika melewati sebuah rumah tingkat bercat kuning muda yang halamannya sudah mulai ditumbuhi ilalang, keduanya cepat-cepat menjauhi tempat itu, seolah berada di sekitarnya bisa membawa efek buruk bagi bayi-bayi mereka.


“Kau tahu apa yang terjadi di sana?” tanya salah satu wanita, mengedikkan kepalanya yang berambut keriting spiral ke rumah kosong di belakangnya.


“Siapa yang tidak tahu?” jawab temannya, bergidik sedikit. “Seluruh kota gempar gara-gara peristiwa itu. Walaupun aku yakin editor koran agak melebih-melebihkan ceritanya, sih.”


“Wanita gila itu benar-benar menyimpan tubuh suaminya?”


“Yeah, dia berkeras suaminya masih hidup, padahal catatan dari Rumah Sakit menyebutkan ia telah meninggal tiga hari sebelumnya. Tumor otak, kalau tak salah.” Si wanita berujar pelan, nyaris berbisik. Rasanya tak pantas topik semacam itu dibicarakan keras-keras di dekat anak-anak, walaupun kedua bayi dalam kereta jelas tidak mengerti apa yang tengah diomongkan ibu mereka. “Kau tahu penjaga toserba di seberang jalan itu?”


“Perry Hudson?”


“Yep. Kebetulan dia teman satu SMA-ku. Dia yang pertama kali menyadari ada yang tidak beres dengan wanita itu – Kate Ackles. Katanya dia melihat Kate sedang menjemur jenasah suaminya di beranda.”


“Menakutkan.”


“Dan setelah itu Perry diserang oleh Kate karena mencoba memberitahunya bahwa suaminya sudah meninggal.” Mereka berbelok menuju sebuah taman, di mana beberapa anak kecil menghabiskan waktu bermain. Kedua wanita itu duduk di sebuah bangku kayu kecil menghadap danau.


“Apa yang terjadi pada wanita itu, ya?” si wanita keriting bertanya-tanya lebih pada dirinya sendiri daripada temannya. Ia menatap atap rumah pasangan Ackles yang terlihat jelas dari tempatnya duduk.


“Entahlah. Di Rumah Sakit Jiwa, barangkali,” jawab temannya acuh tak acuh sambil mengecek popok bayinya. Belum perlu diganti. “Kenapa ya dia sampai melakukan hal semacam itu?”


“Mungkin dia tidak siap menerima kenyataan.”


“Mungkin. Mereka pasangan muda, baru menikah dua tahun. Bahkan belum punya anak.”


“Kasihan.”


“Yeah.” Wanita itu ikut-ikutan mendongak mengikuti arah pandang temannya ke atap rumah. “Kasihan.”


* * *


Kate duduk meringkuk di atas matras, tubuhnya bergoyang ke depan dan ke belakang seperti boneka hias dalam mobil. Rambutnya yang kusut merekat ke wajahnya yang bersimbah airmata. Matanya merah dan bengkak, kantung hitam menggelambir di bawahnya. Bibirnya terus mengucap sebuah kata, mengulang-ulangnya bagai mantra. Ia terus memanggil nama suaminya.


Mereka telah merenggut Jensen darinya. Kate terus bertanya pada tiap dokter yang datang memeriksanya, perawat yang menyuntikkan obat yang membuat otaknya berkabut, bahkan pada petugas pengantar makanan, di mana suaminya. Kapan ia bisa bertemu dengan Jensen lagi, dan kenapa Kate harus dirawat di Rumah Sakit ini sementara yang sakit adalah Jensen. Dan jawaban mereka selalu sama, memberitahu dengan senyum ala pekerja Rumah Sakit terbentuk di bibir mereka, bahwa Jensen sudah meninggal, bahwa Kate perlu dirawat sampai kondisinya membaik, dan setelah itu mereka berjanji akan mengantarnya ke pemakaman. Setiap kali mendengar jawaban itu Kate mengamuk. Bagaimana mungkin ia diharapkan membaik jika mereka terus membebani mentalnya dengan berbohong bahwa Jensen sudah meninggal? Jensen baik-baik saja. Ia hanya sedikit capek karena ketiduran di sofa, tapi setelah beristirahat dia pasti sembuh dan menjemput Kate.


“Jensen,” bisik Kate serak, “Jensen. Jensen. Jensen....”


“Kitten.”


Kate mengerjapkan mata kuat-kuat untuk menghilangkan selaput airmata yang mengaburkan pandangannya. Di ujung lain matras, duduk Jensen dengan celana jeans dan kemeja lengan panjang yang digulungnya sampai siku. Sudah lama sekali sejak Kate melihat Jensen berpakaian normal seperti itu. Matanya menyorotkan rasa sayang yang besar, seperti biasa, tetapi bibirnya mebentuk seulas senyum sedih. Senyum yang sama yang diberikannya saat mereka duduk berdua di beranda sebelum orang-orang itu datang dan memisahkan mereka. Senyum yang terkadang ditunjukkan oleh dokter dan perawat yang masuk ke dalam kamar.


“Seandainya kamu merelakanku, Kitten, ini semua tidak akan terjadi,” kata Jensen penuh sesal.


“Apa maksudmu?” Kate bergerak mendekat, menyebabkan seprai putih matrasnya berantakan.


“Yang mereka katakan itu benar, Kitten. Aku sudah pergi.”


Tidak. Jensen tidak mungkin meninggal. Kate pasti tahu kalau dia meninggal. Kate yang merawatnya selama ini, dia lebih dari mampu membedakan kondisi kesehatan Jensen, tahu kapan harus membawanya ke Rumah Sakit, tahu kapan dia harus istirahat di rumah. Lagipula, jika ia memang meninggal, bagaimana mungkin ia berada di sini?


“Belum,” tukas Kate, merengkuh Jensen dan menenggelamkan wajah ke dada suaminya, kebiasaan yang sangat disukainya. Baju Jensen terasa lembut dan menggelitik, Kate memejamkan mata erat-erat menikmati aroma kuat deterjen. Aroma baju Jensen. “Kalau kamu pergi, aku pasti tahu.”


“Tapi kamu memang tahu,” jawab Jensen, suaranya begitu halus, seperti hembusan angin. “Kamu hanya tidak mau menerima. Semua percakapan kita, semua hal yang kita lakukan bersama, kamu mengarangnya sendiri. Aku sudah tidak bersamamu lagi. Aku harap aku bisa menemanimu lebih lama, tapi aku tidak bisa. Bahkan sekarang pun aku tidak ada di sini.”


“Kamu ada di sini,” jawab Kate ke dada Jensen. Ia mengeratkan pelukan, merasakan tubuh Jensen yang lembut dan solid. “Aku bisa memelukmu, lihat? Kamu benar-benar ada di sini. Ini bukan khayalan.” Kate tersedak tangisannya. “Tetaplah di sini. Jangan pergi.”


“Aku sudah pergi, Kitten. Maaf.”


“Tidak.”


“Relakan aku.” Suara Jensen makin lama makin menjauh.


“Aku tidak bisa,” ujar Kate. Ia masih mencium aroma pakaian Jensen, masih merasakan sesuatu yang solid dalam pelukannya, tapi Jensen tidak lagi menjawab. Kate membuka mata. Jensen, yang barusan tampak begitu tampan dengan pakaian sehari-hari, sudah tak ada. Hanya ada sebuah bantal putih dalam pelukannya, dengan bercak besar bekas airmata. Bibir Kate gemetar, ia melemparkan bantal itu ke sudut ruang, dan menangis keras.


**** END ****

By Reisa McDowell Winchester (Etha)