Little Miss Holly

Ya, cerita berikut adalah fanfiction Supernatural. Baru coba-coba, selamat baca and koment ya...


LITTLE MISS HOLLY
Disclaimer : Don’t own anything. Just for fun.
Warning : Language
Rate : M
By : enRico (visit me!)

I - Leaving on the Jet Plane

Sam melihat sekeliling. Tak ada apa pun kecuali kegelapan. Di mana dia? Sam memicingkan mata dan melihat deretan bangku. Mungkin ini semacam stadion.
“Jangan, kumohon... kau tak boleh melakukannya...”
“Benarkah? Aku tak yakin...”
Suara. Pria dan wanita. Kedengarannya bukan pertanda bagus. Agaknya si wanita sedang dalam bahaya. Sam berusaha mencari sumber suara, tapi terlalu gelap untuk melihat apapun. Ia merasa tak berdaya ketika meraba-raba laiknya orang buta, sementara teriakan si wanita makin keras, memohon-mohon pada lawan bicaranya.
“Tolong, jangan...”
“Jangan khawatir. Ini tak akan sakit...”
“Apa yang kau inginkan dariku?”
“Sudah kukatakan, bukan? Keabadian. Kekuatan. Semua yang kubutuhkan untuk menguasai dunia. Dan hanya darah suci dalam tubuhmu yang bisa memberikannya.”
“Kau gila!”


“Kalau itu membuatmu bersedia, tak masalah disebut begitu.”
“Sial!” Sam berlari menyusuri ruangan, menabrak bangku dua kali, terpeleset di tangga, tapi ia tak peduli, ia harus menolong secepat mungkin. Ini pastilah Upacara Pengorbanan! Keabadian... kekuatan... darah suci... jelas sekali si pria telah membuat perjanjian dengan iblis. Dan kalau darah si wanita adalah syaratnya... berarti ia akan terbunuh!
Sam sampai tepat pada saat si pria menebaskan parangnya ke leher si wanita. Darah menyembur bagai air mancur merah. Si pria melemparkan kepala wanita itu ke tanah, lalu menoleh pada Sam. Sam menjerit seketika.
“Sam!”
Sam membuka mata dengan kaget. Ia langsung bertatap muka dengan Dean, yang tampak sangat khawatir. Setelah beberapa saat, degup jantungnya kembali normal dan ia sadar, pastilah ia ketiduran waktu melakukan riset untuk perburuan selanjutnya.
“Ada apa Sam? Kau mengigau dan menjerit!”
“Dean, kita harus menolong wanita itu!”
“Wanita? Wanita yang mana?”
“Yang kulihat dalam mimpi!”
“Hah? Apa kau mendapat semacam penglihatan lagi?”
“Dia akan dibunuh iblis. Si Mata Kuning. Kita harus menolongnya.”
Dean menggeleng. “Dia sudah mati. Aku membunuhnya sendiri, ingat?”
“Aku tahu, Dean. Tapi mimpiku. Rasanya nyata sekali. Mungkin dia memang masih hidup...”
“Tidak mungkin! Aku menembaknya dengan Colt! Itu cuma mimpi buruk, Sam. Tak berarti apa-apa.”
“Bagaimana kalau itu bukan sekedar mimpi? Setidaknya kita harus mengawasi wanita itu. Cuma untuk memastikan!” Sam buru-buru menambahkan, sebelum Dean menginterupsi.
“Oke. Cuma untuk memastikan,” Dean akhirnya mengalah. “Tapi bagaimana kita menemukannya? Di mana dia?”
“Entahlah. Tapi ia memakai jaket Berrisford University.”
“Ah,” Dean mengangguk. Ada jeda sejenak. “Belum pernah dengar.”
“Universitas khusus untuk kaum ningrat di London,” Sam menjelaskan.
“Hah?”
“Dia di Inggris, kurasa.”
“APA?!”
* *
“ Tidak, Sam. Kubilang tidak!”
“Ayolah, Dean, kita pemburu. Menyelamatkan orang-orang dari iblis adalah kewajiban!”
“Ya, tapi tidak di Inggris. Aku yakin mereka punya pemburu sendiri.”
“Sejak kapan kakakku menolak menolong wanita yang sedang dalam bahaya?”
“Sejak satu-satunya cara pergi ke Inggris adalah dengan menjadi penumpang pesawat jet selama semalam penuh.”
“Yeah, dan setelah itu kau akan bertemu dengan cewek-cewek London yang cantik dan seksi...”
“Kalau aku tidak mati dalam kecelakaan pesawat. Jangan coba-coba membujukku, deh.”
“Jadi kau tak akan pergi walau apapun yang kukatakan?”
“Tepat sekali.”
* *
Bandara LAX, Los Angeles. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Tak ada yang peduli pada seorang cowok yang duduk di kursi tunggu, tampak sangat tertekan. Dean Winchester menunggu jam penerbangannya seperti menanti eksekusi. Kalau boleh memilih, dia ingin menghadapi seribu Iblis daripada melintasi samudera dengan Boeing 747.
Ia memeriksa jimat-jimatnya sekali lagi. Kaki kelinci untuk keberuntungan, rantai perak untuk keselamatan, gigi hiu untuk menghindari kecelakaan. Biasanya ia tak percaya pada amulet dan semacamnya. Tapi kali ini berbeda. Ia butuh apapun yang bisa membantunya bertahan di atas awan. Semuanya disimpan dalam jaket kulit coklatnya. Tapi kenapa ia tak bisa merasa tenang?
“Wah, pemburu kita ingin jadi penjual jimat, nih,” goda Sam.
“Tutup mulut, Sammy.”
“Kau tak butuh semua itu, Dean.”
“Tentu saja aku butuh. Bagaimana kalau pesawatnya tiba-tiba jatuh atau meledak?” Dean tampak ngeri. “Andai aku bisa ke Inggris dengan dia.”
Yang Dean maksud adalah Impala, alasan keberadaannya di sini. Sam dan Bobby telah bekerjasama untuk menyembunyikan mobil kesayangannya itu, dan hanya akan dikembalikan kalau Dean bersedia ke Inggris. Sungguh tak adil, tapi ia tak punya pilihan. Sialan.
“Yeah, dan begitu kau sampai, dunia sudah kiamat.”
“Lebih baik mati waktu kiamat daripada dalam ledakan pesawat. Konyol banget,” kata Dean, yang, Sam tahu, hanya bualan belaka. Dean tidak akan membiarkan Iblis menghancurkan dunia, itulah kenapa ia tetap menjadi pemburu bahkan setelah dendam keluarga mereka terbalaskan.
“Film macam apa sih yang kau tonton semalam?” Sam nyengir. “Final Destination?”
“Ha-ha-ha. Lucu sekali. B***h.”
“Jerk.”
Terdengar suara wanita dari speaker, mengumumkan tentang pesawat dengan nomor penerbangan 180 yang akan segera take-off.
“Itu pesawat kita,” kata Sam, bangkit berdiri.
Dean mengerang. “Baiklah. Ayo kita pergi.”
* *
Malam sudah larut, dan Dean belum juga terlelap. Di sampingnya, Sam mendengkur pelan. Baru sekali ini adiknya bisa tidur sementara dia tidak, tapi mau bagaimana lagi? Penerbangan itu benar-benar membuatnya gelisah. Bahkan duduk di first class, menikmati makanan lezat yang ia sendiri tidak tahu namanya (ditulis dalam bahasa Italia dan Sam yang memesankan untuknya), sampai menggoda pramugari berbokong seksi itu tidak membuatnya merasa nyaman. Berkali-kali ia melirik arlojinya. Masih 4 jam lagi....
Dean melirik Sam, yang mulutnya setengah terbuka. Ia nyengir. Mungkin sedikit bersenang-senang bisa mengurangi ketegangannya. Diambilnya tisu dan sikat gigi dari airlines kit-nya, kemudian, dengan sangat hati-hati, ditempelkannya tisu ke hidung Sam seperti kumis. Pada saat yang sama, Sam ngiler. Dean tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera difotonya Sam dari berbagai angle.
“Bagus Sammy. Kau bakat jadi model,” komentar Dean, melihat hasil jepretannya.
Sayang kesenangan itu tak berlangsung lama. Saat Dean sedang dalam proses memasukkan sikat gigi ke mulut Sam, ia bergerak, sehingga sikat giginya menyodok langit-langit mulut dan ia tersedak. Sam bangun sambil memaki.
“Brengsek kau! Dean!” ia meludahkan sikat gigi dan melepas tisu dari hidungnya. Dean terkekeh. Sam menonjoknya.
“Hei! Aku kan cuma bercanda!”
“Bisa tidak sih kau bertingkah normal?”
“Tidak selama aku berada dalam pesawat gila ini.”
“Kau yang gila. Dasar paranoid, berhenti khawatir dan tidur sajalah!”
“Yeah, tidur saja agar kalau pesawat ini jatuh, aku tidak akan bangun dan begitu sadar, ternyata aku sudah mati. Tidak, terima kasih,” gerutu Dean.
“Oke. Terserah. Selamat begadang, kalau begitu,” kata Sam, menarik selimut. “Dan jangan ganggu aku,” ia menambahkan sebelum berbalik memunggunginya.
Lima menit kemudian, dengkuran Sam kembali terdengar. Dean mengutuk pelan. Bagus. Sekarang ia harus begadang, tanpa wajah Sam untuk main-main, dan dengan kekhawatiran yang makin lama makin besar. Dalam keadaan seperti inilah, Dean bersyukur menjadi pemburu, bukannya bisnisman yang tentunya harus bolak-balik naik pesawat tiap hari.
* *
Pagi datang menjelang. Setelah mendengarkan musik rock sampai kupingnya panas, mengudap sekotak besar coklat, sampai melakukan percobaan dengan seluruh isi kit-nya, akhirnya Dean ketiduran juga. Kepalanya terkulai ke bahu Sam, membangunkan cowok itu dengan ilernya.
“What the....?!” umpat Sam, melihat lengan jaketnya yang basah. Di dorongnya kepala Dean ke sisi lain.
Tiga puluh menit kemudian, Sam membangunkan Dean, yang langsung pucat begitu diberitahu pesawat akan melakukan landing. Proses di mana pesawat paling sering mengalami kecelakaan.
“Di luar tidak hujan, kan?” tanya Dean, berusaha terdengar tenang. Tapi dari pertanyaannya saja Sam sudah tahu Dean takut pesawatnya tergelincir di landasan licin.
“Tidak. Jadi duduklah dengan tenang, kencangkan sabuk pengaman, dan sebentar lagi kau akan melihat bandara London,” jawab Sam. Rasanya seolah dialah sang kakak, dan Dean adalah adiknya yang berumur sepuluh tahun.
Pesawat mulai turun. Perut mereka terasa geli. Sam sudah membuka mulut, siap mengatakan pada Dean bahwa semua kecemasannya selama 12 jam terakhir ini sia-sia saja, ketika peawat mulai berguncang.
“Apa yang.....?!” seru Dean panik, mencengkeram lengan kursinya erat-erat.
“Tenang, Dean. yang semacam ini sering terjadi,” kata Sam.
Pesawat berguncang lagi.
“Sam, pesawat ini akan jatuh!”
“Tidak, diam dan tunggu sajalah,” gumam Sam dari sudut mulutnya.
Guncangan makin keras.
“Kalau kita selamat Sam, ingatkan aku untuk memukulmu!” teriak Dean.
Pesawat berguncang demikian hebat hingga Sam tidak sempat berkomentar. Ia memejamkan mata sementara abangnya heboh sendiri di sebelah. Ternyata pemburu profesional macam dia pun bisa hilang akal ketika mengahadapi ketakutan. Untung saja di kelas F hanya ada dia dan Dean. Bayangkan kalau ada orang lain yang mendengarnya! Memalukan.
Rasanya berjam-jam telah lewat ketika akhirnya guncangan berhenti. Pramugari mengumumkan bahwa mereka telah mendarat dengan selamat dan segala basa-basi tentang menikmati perjalanan atau semacamnya. Sam membuka mata perlahan. Tampak bandara London dari jendela. Sam tersenyum.
“Lihat kan? Kita sampai dengan selamat. Kecemasanmu sia-sia saja, Dean,” kekeh Sam sambil membuka sabuk pengaman.
Tak ada reaksi.
“Dean?”
Sam menoleh. Segera ia diserang dua perasaan yang berlawanan, antara panik dan ingin tertawa, karena melihat Dean pingsan di kursinya!
* *

II - Uptown Girl

Sam membuka pintu motel. Hal pertama yang ia lihat adalah Dean, berbaring di kursi malas sambil mendengarkan musik, mulut menggembung seperti hamster. Kotak-kotak coklat dan kue berserakan di sekitarnya. Dia terus seperti itu semenjak peristiwa landing tiga hari lalu. Ngambek, sama sekali tak mau membantu Sam dalam penyelidikan dengan dalih ‘sedang dalam terapi traumatis.’ Sam tidak yakin Dean masih trauma dengan peristiwa itu, sebaliknya, ia tampak sudah menikmati London. Lebih dari sekali Sam melihatnya keluar dari bar bersama cewek-cewek.
“Kecilkan volumenya, Dean!” teriak Sam, berusaha menandingi suara tape.
“Oke,” jawab Dean, memutar ke volume maksimal.
Sam mematikan tape dengan jengkel. “Sampai kapan kau mau merajuk seperti ini?”
“Siapa yang merajuk?” tanya Dean, meraup segenggam M&Ms dan melahapnya sekaligus. “Akuh gak biwang akhan embwantumuh mengewidikih.”
Sam mendengus kesal. Ia menghenyakkan pantatnya di meja. “Oke, kau boleh tak membantuku dalam penyelidikan, tapi kau harus membantuku mengawasinya.”
“Apa saja yang kau dapatkan?” tanya Dean, merebut sebuah map dari Sam. Di halaman pertama, ada sebuah foto yang menampakkan dua orang gadis dalam gaun prom mewah, Sam melingkari salah satunya.
“Benyth Carmelle Brady, dua puluh tahun. Mahasiswi Berrisford tahun kedua. Pewaris tunggal Bradies Corporation.”
Dean mencibir. “Yeah, dia manis, tapi aku suka si pirang. Siapa ini?” Ia menunjuk gadis di sebelahnya.
“Alecia Lehane. Teman seangkatan Benyth, yang sebulan lagi resmi menjadi remaja terkaya dengan penghasilan US$ 30 juta per tahun....”
Dean sampai tersedak. “US$ 30 juta?”
“Yeah, dia akan memimpin Lehane, Bouldon and Drimms, salah satu firma terbesar di dunia...”
“US$ 30 juta?”
“Apa aku bicara bahasa Urdu? Ya Dean, tapi bukan itu masalahnya. Bagaimana menurutmu?”
“Seperti yang kukatakan tadi, aku lebih menyukainya. Coba lihat dadanya....”
“Dean!”
“Oke, oke! Santai sedikit kenapa, sih?” kata Dean, “Mereka sekolah di Universitas elit kan? Kita bisa menyusup ke sana.”
“Bagaimana?”
Dean berpikir sejenak. Kemudian seringai mengembang di wajahnya, menampakkan gigi yang hitam terkena coklat. “Aku ada ide.”
* *
“Al, kau ada waktu?”
“Ada apa Ben?”
“Aku ingin bicara denganmu. Tentang Jason. Bisa datang ke Torch sekarang?”
“Maaf, Ben. Sekarang aku harus latihan berkuda. Dua jam lagi, ya?”
“Oh. Oke, kalau begitu. Kutunggu kau di sini. Bye.”
“Bye.”
Alecia menutup ponsel Blueberry-nya sambil bergegas menuruni tangga apartemen. Ia sudah terlambat untuk latihan kali ini. Di belokan, ia melihat Trio Centil menyebalkan, Hayden Cruz, Ashley Pickford, dan si asia curly yang ia lupa namanya. Baru saja Alecia berbalik untuk menghindar, salah satu dari mereka sudah memanggil.
“Hei, Aly, mau ke mana?” suara Ashley. Kenapa dia memanggilnya Aly? Menyebalkan!
Ia pasang senyum lebar ketika menghadapi mereka. “Hai, kalian bertiga. Aku mau berkuda.”
“Oh...!” pekik Hayden, membuat Alecia terlonjak. “Apa kau sudah bertemu asisten pelatih yang baru?”
“Belum,” jawab Alecia, mengangkat bahu. “Kemarin aku bolos, soalnya. Seperti apa dia?”
Mereka bertiga terkikik genit. “Dia cute banget! Ya kan Hikaru?”
Hikaru. Nah, itu dia.
“Cool and tasty,” desah Hikaru, disusul kikik kedua sahabatnya.
“Begitu?” tanggap Alecia, berusaha tidak mengernyit. Kadang ia penasaran, apa cewek-cewek tajir ini tidak mendapat pelajaran penggunaan bahasa. Mendengar mereka menyebut seorang cowok dengan kata ‘tasty’ membuatnya muak. Memangnya, demi Tuhan, apa yang sudah mereka lakukan?
“Kalau begitu, sebaiknya kau bergegas. Jangan sampai terlambat melihat si cutie,” kata Ashley.
“Yeah, benar. Bye, semua!” Alecia melambaikan tangan.
“Bye Aly! Selamat menikmati!” seru mereka centil. Alecia memutar bola mata. Dasar cewek!
* *
Dean mengawasi gadis yang baru masuk lapangan. Itu dia, pikir Dean senang. Alecia Lehane sangat berbeda tanpa gaun prom-nya. Dalam foto, ia terlihat layaknya putri keluarga berada lain. Sekarang, ia memakai jaket kulit maskulin, jeans, dan ogg boots yang membuatnya tampak seperti habis berburu mammoth. Tapi jujur, Dean lebih suka penampilannya kali ini. Lebih liar. Seksi. Cute. Dean banget.
Ia makin terkesan ketika melihat Alecia berkuda. Jelas sekali ia masuk klub hanya untuk memuaskan hobinya, bukan belajar berkuda. Ia tak membutuhkan pelatih, bahkan bisa dibilang, kemampuannya setara dengan sang pelatih. Ketika sesi latihan selesai, Dean menghampirinya.
“Selamat sore, Miss Lehane.”
Alecia melepas helmnya dan menoleh. “Selamat sore. Apa kita pernah bertemu?”
“Kenalkan, asisten pelatih yang baru, Dean Reed,” Dean mengulurkan tangan. Alecia menjabatnya.
“Alecia Lehane. Tapi sepertinya kau sudah tahu,” kata Alecia, sedikit sinis.
“Ya, sebagai asisten pelatih yang baik, aku harus tahu nama semua anggota klub, kan?”
Alecia diam saja. Dean langsung sadar dia tipe orang yang menomorsatukan privasi, dan nyata sekali tidak senang namanya diketahui oleh seseorang, tapi bukan dia sendiri yang memberitahu. Alecia pasti menganggap Dean melanggar privasinya.
“Aku melihatmu tadi,” kata Dean, melemparkan senyuman maut untuk mencairkan suasana. “Menurutku kau mahir sekali berkuda.”
“Terima kasih,” jawab Alecia datar.
“Jadi begini. Sebenarnya, Minggu besok aku akan pergi ke peternakan untuk melihat beberapa kuda. Mungkin kau tidak keberatan kalau aku mengajakmu? Kita bisa berkuda bersama. Oh, dan tentu saja, kau bisa mengajak.....”
“Terima kasih atas undangannya, tapi maaf, aku tidak bisa,” potong Alecia. “Lagipula, sebagai asisten pelatih yang baik, kau harusnya tidak mengajak anggota klub pergi denganmu hanya semenit setelah berkenalan. Nah, kalau tidak keberatan, aku harus pergi sekarang. Permisi!”
Dan Alecia pergi, meninggalkan Dean yang terpana menyaksikan ketegasan dan kejujurannya. Lebih hebat lagi, ini kali pertama ada cewek yang tidak meleleh karena pesonanya!
* *
Alecia masuk ke ruang redaksi Torch. Dimana-mana berserakan artikel untuk materi majalah besok dan sisa majalah hari ini. Tapi ia tak melihat Benyth.
“Ben?”
Terdengar isakan pelan dari balik meja. Alecia mendekat. Benyth sedang duduk di situ, dengan kaki menekuk dan mata sembab. Alecia buru-buru menghampirinya.
“Ben, ada apa?”
“Al!” Benyth memeluk Alecia. “Al, Jason...”
“Kenapa lagi dia?” tanya Alecia pelan. “Dia berbohong lagi padamu?”
“Ya, tapi bukan itu yang terburuk,” isak Benyth.
“Apa yang lebih buruk daripada membohongi pacar sendiri?” tanya Alecia ngeri. “Ben, dia tidak melakukan apa-apa padamu, kan?”
“Kupikir dia mencintaiku, jadi tadinya kukira tak masalah...”
“Ben, apa kau melakukan itu?!” jerit Alecia.
“Tidak, Al! Jangan macam-macam!”
Alecia menghela nafas lega. Kalau bukan itu, berarti apapun masalahnya, pasti tidak terlalu buruk. “Jadi? Ada apa lagi antara kau dan Jason?”
“Kemarin aku mengajaknya nonton pertandingan softball. Dia menolak, katanya ada urusan dengan firma ayahnya. Tapi kau tahu? Aku melihatnya pergi ke pacuan!”
Hah. Begitu saja toh. Dasar Benyth. Kebohongan macam itu saja ributnya bukan main. “Kalau begitu, pojokkan saja dia sampai minta maaf,” kata Alecia sabar.
“Tidak, Al. Aku sudah bilang bukan itu masalahnya,” ujar Benyth sedih, “setelah itu aku memutuskan mengajak Clark, kau tahu, bukan untuk membalas Jason, hanya untuk memakai tiket saja, karena aku mendapatkannya dengan susah payah. Lagipula, Clark sudah banyak membantuku di Torch. Kupikir tidak apa-apa kalau aku berterimakasih padanya, ya kan? ”
Benyth memang terlalu baik. Kalau Alecia, satu-satunya alasan dia mengajak cowok lain jalan dengannya ya untuk balas dendam (walaupun sejauh Alecia belum pernah punya pacar). Apalagi untuk cowok macam Jason, yang, dari cerita Benyth, tampaknya lebih sering bohong daripada jujur.
“Ya, kau benar. Lalu?”
“Jason memergoki kami,” ratap Benyth. “Di lapangan parkir, setelah pertandingan. Dia berteriak mengusir Clark dan menarikku dengan paksa, dan kemudian dia meneriakiku juga. Dia bilang aku cewek murahan yang tak bisa dipercaya....”
“APA?!” sentak Alecia. “Keterlaluan, dia itu! Kenapa kau tidak bilang saja alasan kau mengajak Clark?”
“Aku sudah menjelaskan padanya, tapi dia tak mau mengerti...”
“Kenapa? Apa dia pikir kau bohong? Padahal ia sendiri sudah berkali-kali mengecewakanmu dan kau tetap percaya padanya!”
“Ya, terima kasih,” kata Benyth masam.
“Sori, bukan maksudku mengataimu...” Alecia salah tingkah. Ia berdeham. “Tapi dia tidak menyakitimu, kan? Maksudku, melukai secara fisik?”
“Tidak, tapi dia melarang aku bertemu dengan Clark.”
“Dia tak berhak mengatur pergaulanmu, Ben!”
“Aku tahu, aku juga bilang begitu, tapi dia mengancamku!”
“Mengancam apa?”
Benyth menatapnya tak berdaya.
“Ben, apa dia bilang akan memutuskanmu?”
Ia mengangguk pasrah.
“Bagus!” kata Alecia puas, “Kalau begitu, langgar saja ancamannya, Ben! Biar saja dia memutuskanmu! Kamu layak mendapat yang lebih baik daripada cowok penipu overprotektif seperti dia!”
Ada jeda cukup lama ketika Benyth menunduk dalam diam, memilin-milin rambut coklatnya.
“Ben?”
“Entahlah, Al.”
“Ben, jangan bilang kau masih mencintainya setelah apa yang dia lakukan padamu!” omel Alecia. “Kau gila kalau begitu, Ben!”
“Mungkin dia melakukannya karena benar-benar mencintaiku....”
“Atau ingin menguasai dan mengontrol dirimu! Ben, pakai akal sehatmu!”
Alecia tak habis pikir dengan sahabatnya itu. Padahal Benyth lulus cum laude dari High School, tapi kadang pikirannya sama sekali tidak jalan. Dia jadian dengan Jason, yang suka bertaruh di pacuan, pembohong, dan tertutup. Sekali lihat saja Alecia sudah tahu ia bukan cowok baik-baik. Dan sekarang, ketika kesempatan untuk putus di depan mata, Benyth malah bingung. Dia masih mencintainya! Seperti tak ada cowok lain yang mengantri ingin jadi pacarnya saja. Clark, misalnya. Dia cute, kapten tim softball, jujur, dan yang paling penting, jelas-jelas menyukai Benyth.
Lama Alecia menunggu Benyth mengambil keputusan, tapi ia belum menujukkan tanda-tanda mendapat pencerahan. Kesal, Alecia mengambil sebuah notes dan bolpoin dari atas meja dan menyerahkannya pada Benyth.
“Apa ini?” tanya Benyth bingung.
“Dua benda yang akan membantumu,” jawab Alecia, “sekarang, tulis hal-hal yang membuat hubungan kalian layak dipertahankan, dan hal-hal yang, menurutmu, menjadi alasan bagus untuk mengakhirinya. Kalau ternyata yang kedua ini lebih banyak...”
“Maka aku harus putus dengan Jason,” Benyth melanjutkan.
“Tepat sekali.”
* *
“Mahasiswa kita sudah pulang, rupanya.”
Sam melepas mantel dan melemparkan diri ke ranjang. “Aku tidak ingat jadi mahasiswa ternyata secapek ini.”
“Yeah, soalnya di Stanford kau mahasiswa sungguhan,” kata Dean. “Jadi, apa yang didapat sang mahasiswa hukum di hari pertamanya?”
“Tidak banyak. Hanya informasi bahwa Benyth sedang dekat dengan dua orang, Jason Teague dan Clark Kent....”
“Ah.”
“Apa?”
Dean mengangkat bahu. “Tidak, hanya mengagumi kemahiranmu menyelidiki percintaan orang lain...”
“Kau bilang aku harus mencari informasi apapun tentang Benyth!” Sam sewot.
“Benar. Lanjutkan.”
“Lagipula, ada kemungkinan iblis itu merasuki salah satu dari mereka....”
“Oke, oke, Sam. Aku tak berminat mendengarkan argumenmu, atau alasan kenapa kau mencari informasi di bidang ini,” kata Dean tajam, karena ia melihat Sam sudah membuka mulut lagi, siap menyangkal. “Yang ingin kuketahui, apa kau sudah menyelidiki keduanya?”
“Yeah, Clark Kent sudah,” jawab Sam, melemparkan selembar foto. “Aku bahkan sudah ngobrol dengannya.”
Dean melihat foto itu. Seorang pemuda dengan senyum canggung dan kemeja kotak-kotak balik menatapnya. “Ternyata aku memang pria terkeren,” komentarnya.
“Dia kapten tim softball Berrisford Bull, putra pemilik peternakan terbesar di Inggris, dan orangnya cukup menyenangkan.”
“Oke, kapten tim Sapi yang punya sapi di peternakan. Bagaimana dengan Teague? Tunggu. Rasanya aku pernah dengar nama itu.”
“Malah aneh kalau kau belum pernah dengar. Teague Corporation memegang saham dari beberapa casino terbesar di Vegas.”
“Kau sudah bertemu dengannya?”
“Belum.”
“Kalau begitu, selidiki dia sekaligus kemampuan berjudinya. Aku ingin bertaruh dengannya.”
“Bagaimana dengan penyelidikanmu?” tanya Sam, dan ketika Dean tak menjawab, ia langsung tahu bahwa Alecia Lehane bukanlah cewek sembarangan.




III - Bleeding Love

Benyth melirik Jason dengan gelisah. Mereka sudah mengitari halaman universitas sepanjang sore, dan kini jam menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi Benyth belum juga mengungkapkan alasannya mengajak Jason jalan-jalan. Lagipula, bagaimana ia harus mengatakannya?
Jason, dengar. Kita harus mengakhiri hubungan ini.
J, aku telah memikirkannya dengan matang. Kurasa kita harus berpisah. Demi kita berdua.
Aku merasa kita sudah tidak cocok lagi, J....
Astaga, mana tega dia berkata begitu!
“Malam ini dingin sekali, ya? Apa kau kedinginan?” tanya Jason, membuat Benyth terlonjak.
“Apa? Oh, oh, ya. Ya, sedikit,” jawab Benyth gugup.
Jason tersenyum lembut. Dilepasnya mantel yang menghangatkan dirinya dan dipakaikannya pada Benyth. Tapi Benyth melepasnya.
“Terima kasih, Jason. Tapi aku tidak memerlukannya,” gumamnya.
“Kenapa?”
“Cuma sedikit dingin. Tak apa-apa.”
“Cuma sedikit dingin,” ulang Jason, “aku tidak mau kamu kedinginan barang sedikit pun, babe.” Ia membungkus Benyth dengan mantel dan merangkulnya.
Benyth melepaskan diri. Kenapa justru di saat seperti ini, Jason jadi romantis? Apa dia tahu Benyth akan memutuskannya, dan ia berusaha mencegah? Kalau memang benar, berarti Jason masih mencintainya. Mungkin layak mendapatkan kesempatan kedua. Tapi untuk memberikan itu, Benyth harus memastikan satu hal.
“Jason?”
“Ya?”
“Apa kau mencintaiku?”
“Sedalam samudera,” desah Jason, membelai rambut pacarnya.
“Apa kau ingin aku bahagia?”
“Tentu saja, babe.”
“Dan kau akan melakukan apa saja demi aku?”
“Selama kau mengijinkannya.”
“Baiklah, aku ada satu permintaan. Aku ingin kau melakukannya. Demi aku,” ia menekankan dua kata terakhir.
“Apa itu?”
Inilah saatnya. Kalimat sakti itu harus dilontarkan. “Tolong kau berhenti mengaturku.”
Jason mengerjap bingung. “Apa maksudmu?”
“Yah, aku ingin kau memberiku kebebasan, khususnya dalam pergaulanku.”
“Aku tak mengerti. Aku tidak ingat pernah melarangmu bergaul dengan Alecia. Walaupun dia menyebalkan,” tambah Jason lirih hingga Benyth tak mendengar,
“Tidak Jason, bukan Al,” kata Benyth, sekuat tenaga menegaskan suaranya.
Jason terdiam. Ia menatap Benyth tajam. Ia mengerti. “Ben, apa ini tentang Clark?”
Benyth memalingkan muka.
“Jawab, Ben! Apa ini tentang Clark?!” teriaknya.
Reaksi yang sungguh di luar dugaan. Ketakutan, Benyth buru-buru menjauh. “Ya,” lengkingnya, mulai menangis. Tapi ia harus menyelesaikan urusan ini. “Aku ingin kau berhenti melarangku berteman dengannya. Kalau tidak, lebih baik kita putus!”
“Ben!” seru Jason, melangkah cepat dan mencengkeram Benyth sebelum gadis itu sempat menghindar. “Apa kau tahu apa yang akan dilakukannya padamu, Ben? Apa kau tahu?!”
“Dia tidak bermaksud apa-apa, Jason! Dia temanku!” tangis Benyth.
Jason mengguncang Benyth keras-keras. “Sejauh mana kau mengenalnya? Kau tak tahu apa-apa soal dia! Dia ingin menyakitimu, Ben!”
“Tidak, itu hanya perasaanmu saja, karena kau takut ia akan merebutku. Kaulah yang ingin menyakitiku, Jason! Kau ingin memiliki aku seorang diri!” jerit Benyth.
“Ya, apa itu salah?” Jason mempererat cengkeramannya. “Aku mencintaimu, Ben! Semua yang kulakukan hanya untuk melindungimu!”
“Melindungiku dari apa? Apa kau takut aku berkhianat? Lepaskan aku, J!” Benyth meronta.
“Kau tak mengerti, Ben!”
“Lepaskan!”
Jason menghempaskan Benyth ke tembok, menahannya. “Akan kubuktikan kalau aku benar-benar mencintaimu,” engahnya sambil mencengkeram pipi Ben.
“Tidak Jason, hentikan!”
Clark merenggut kerah baju Jason dan melemparnya menjauh dari Ben.
“Ben, kau tidak apa?”
“Jangan sentuh dia!” raung Jason, menyergap Clark sampai terjatuh. Mereka bergumul seru di jalan, saling pukul, saling tindih, sementara Ben menangis.
“Ben! Panggil Polisi Kampus!” Seru Clark diantara perkelahian.
“T-tapi...”
“Cepat!”
Dan Ben berlari pergi, meninggalkan dua pemuda yang saling hantam demi dirinya.
* *
Berita cepat menyebar esok harinya. Sam, sebagai mahasiswa, langsung tahu detail penyerangan Jason dan aksi heroik Clark. Dean tidak seberuntung itu.
“Cewek blonde itu menonjokku waktu aku bertanya!” salaknya, mengompres mata dengan seplastik es. “Dia bilang aku sama brengseknya dengan Jason!”
“Bersyukurlah karena dia salah,” ujar Sam, “kau kan lebih brengsek dari pria manapun.”
“Yeah, terimakasih Sammy,” umpat Dean sambil melempar kompresnya ke arah Sam.
“Whoops!” Sam menunduk. “Meleset. Sayang sekali, Dean.”
Tidak sulit mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Jason berusaha melukai Benyth, Clark menolong. Tampaknya sudah jelas bagi Dean siapa yang kerasukan. Tapi Sam ingin menyelidiki lebih lanjut. Ia menghabiskan sepanjang minggu mengorek informasi tentang Jason, dan malamnya ia menyerahkan hasil penelitian pada kakaknya.
“Apa cuma perasaanku saja, atau kami berdua mirip?” celetuk Dean ketika melihat foto Jason.
“Kau pernah dengar fisiognomi, Dean? Itu ilmu yang mempelajari bentuk wajah. Kurasa potongan orang yang suka berjudi ya seperti kalian itu.”
“Meski aku lebih keren, tentu. Potongannya mahasiswa banget.”
“Sudahlah. Kita tidak akan menghabiskan semalam untuk membahas tampangmu, kan?”
“Yeah, oke. Jason Teague. Dua puluh dua tahun. Pewaris tunggal Teague Corp....” Dean mencibir. “Apa begini caramu bekerja, Sam? Mentang-mentang di lingkungan elit, yang kau selidiki hanya kekayaan mereka...”
“Lucu sekali,” kata Sam sinis, “baca baliknya, bego.”
Dean membuka halaman selanjutnya. Hening sejenak ketika ia mempelajari data-data yang tercetak. Kemudian, dengan senyum puas ia melemparkan bendelan kertas itu ke meja. “Ha! Kubilang juga apa? Sudah pasti dia yang kerasukan! Kau kalah, Sammy.” Dean mengulurkan tangan.
Sam memutar bola mata. Ia terpaksa merelakan seratus dolar dari dompetnya. Bertaruh dengan Dean sama saja dengan bunuh diri.
Tapi Sam tak bisa mengelak. Terpaksa harus mengakui ketajaman insting sang kakak. Ia telah mempelajari seluk beluk keluarga Teague, dan menguak fakta bahwa Geneveive Teague, ibu Jason, adalah peneliti situs-situs gaib dan hal-hal supranatural. Sudah setahun ini Jason ikut andil dalam riset rahasia, melibatkan iblis, kalau dilihat dari materinya: materai solomon. Nujum. Guna-guna.
“Kemungkinan besar bocah tolol itu kerasukan saat bekerja,” Dean menyimpulkan.
“Yeah, semoga saja. Karena aku punya dugaan lain.”
“Maksudmu?”
“Teague Corporation adalah satu-satunya firma di Eropa yang belum pernah mengalami kebangkrutan. Dan kita tahu, iblis menjanjikan kemuliaan duniawi berlimpah pada pengikutnya.”
“Astaga, jadi kau pikir...?”
“Tidak menutup kemungkinan, Jason Teague tidak kerasukan. Ia merelakan diri sebagai inang, demi kekayaan keluarga.”
Dean mendengus. “Masih ada saja orang primitif macam itu.”
“Dan tugas kita sebagai pemburu adalah memodernisasi mereka, kan?”
“Oke. Mulai sekarang, kita fokus pada Jason. Buntuti dia siang malam. Jangan sampai ia mendekati Benyth.”
“Kita bergantian, kalau begitu. Kau jaga siang hari, dia ikut klub berkuda pria, soalnya. Dan aku bekerja di malam hari. Deal?”
“Deal.”
* *
“Apa kedatanganku mengganggu kerja sang editor?”
Benyth terlonjak. Ia terlalu asyik menulis artikel rupanya, hingga tak menyadari kehadiran Clark. Cowok itu berdiri di depan mejanya, masih memakai seragam softball. Tak terkatakan bagaimana bau keringatnya.
“Clark! Kau sudah selesai latihan?”
“Yeah, aku langsung ke sini untuk menemuimu, lho.”
Pantas. “Ehm, memang ada apa?” Benyth bangkit menuju loker, mengambil beberapa lembar kertas. Trik sopan menghindari aroma Clark, sebenarnya.
“Yah, uh... aku punya dua tiket nonton malam Sabtu ini, dan... ehm. Cuma balasan atas pertandingan softball minggu lalu, tapi...”
“Clark.”
“Ya?”
“Terima kasih atas ajakanmu, tapi maaf.” Benyth menggeleng. “Setelah... setelah kejadian dengan Jason, ku...kurasa aku ingin menghabiskan beberapa malam Sabtuku sendiri dulu. Maaf.” Ia berbalik agar Clark tak melihatnya mengusap airmata.
“Oh,” Clark salah tingkah. “Tidak apa-apa, Ben. Akulah yang harusnya minta maaf. Tentu saja, aku mengerti kau butuh waktu...”
“Terimakasih, Clark.”
“Ben...” Clark mengambil kotak tisu dari meja untuk gadis itu, ketika seragam raksasanya menyenggol loker, menjatuhkan tropi besar yang berada tepat di atas Benyth.
Si gadis menjerit, mengangkat kedua tangan melindungi kepala. Tak ada waktu. Bahkan Clark tak sempat menyelamatkan.
Brak! Tropi terhempas menghantam meja, semeter di samping Benyth. Ajaib.
Clark buru-buru mendekat, membantu Benyth berdiri. “Kau tidak apa-apa? Apa perlu kubawa ke ruang kesehatan? Ben?”
“Ya. Tidak. Clark, apa yang terjadi?” tanya Ben linglung.
“Ben!”
Alecia masuk ke ruang redaksi, tampak khawatir. “Ada apa?”
“Aku.. entahlah, Al. Tropi itu jatuh, harusnya menimpaku, tapi....” ia berhenti. Ditatapnya Alecia lekat-lekat. “Al, apa....”
“Sebaiknya kau pergi,” cepat-cepat Alecia berpaling pada Clark. “Biar kuurus Ben.”
“Oh. Oke. Panggil aku kalau ada apa-apa,” pinta Clark dari pintu.
“Pasti. Bye Clark.” Alecia melambai tanpa melihatnya. Perhatiannya jatuh pada Benyth.
Butuh beberapa waktu bagi Benyth untuk menenangkan diri, kemudian ia bertanya pada sahabatnya, “Al, tropi itu, bagaimana bisa? Harusnya benda itu jatuh tepat di wajahku!”
“Well, kau beruntung, Ben.”
“Tidak, Al. Kau tahu maksudku.”
“Sudahlah,” Alecia melambaikan tangan bagai mengusir lalat. Ia tersenyum penuh arti. “Tak perlu memusingkan yang sudah terjadi, kan? Sekarang, lebih baik kita mendiskusikan tentang kenapa-kapten-softball-datang-menemui-cewek-editor-bahkan-sebelum-mandi? Dia bilang apa, eh? Ben?”
“Al...”
“Kencan? Nonton bareng? Dinner?”
“Sudahlah, Al. Jangan membicarakannya....”
“Piknik? Mancing? Kemping?”
Rasa ingin tahu Alecia sudah tak terbendung. “Yah, nonton bareng,” jawab Benyth akhirnya.
“Sudah kuduga!” pekik Alecia gembira. “Kapan? Kalian mau nonton apa? Ben, kau harus beli baju baru! Untuk kali ini saja, kutemani kau belanja deh!”
“Tak perlu, Al.”
“Kenapa? Oh, jangan-jangan kau sudah punya? Sudah pesan tempat di salon juga, ya? Ah Ben, tak kusangka kau bergerak secepat itu! sahabatku ini!” pipi Benyth dicubitnya gemas.
“Tidak, Al. Dengarkan aku dulu, dong!” seru Benyth, lebih keras dari kemauannya. Alecia langsung diam. “Aku menolak ajakannya.”
Semenit kemudian, baru Alecia bereaksi.
“Kenapa sih kau ini, Ben? Gegar otak, ya? Bisa-bisanya kau menolak Clark!”
“Aku butuh berpikir....”
“Berpikir? Ben, jelas-jelas ia seribu kali lebih baik daripada Jason – oh ya Ben, dan ini bukan pendapatku seorang!” Alecia menambahkan tegas. “Dengar Ben, setelah apa yang kau alami dengan Jason, kau pasti mengerti, gadis sepertimu lebih baik dicintai daripada mencintai! Clark kesempatanmu untuk memulai hidup baru, Ben! Kisah cinta baru! Kebahagiaan baru! Tak akan gagal kali ini, aku jamin, deh.”
Benyth tampak ragu. “Dan bagaimana kalau ternyata gagal?”
“Kalau itu karena Clark, aku bersumpah akan membunuhnya untukmu.”
Mau tak mau Benyth tertawa. Alecia memang baik. “Lalu, bagaimana sekarang? Aku sudah terlanjur menolaknya....”
Alecia mendengus. “Sayang, apa gunanya benda ini?” ia menujukkan ponsel dengan nomor Clark, tepat di depan hidung Benyth. “Telepon dia sekarang, dan kita taruhan. Kalau dia tidak bersorak, kau kutraktir makan sebulan.”
* *
Pintu menjeblak terbuka. Dean masuk sambil misuh-misuh. Ia memiliki kosakata yang hanya digunakan saat marah, dan sekarang ia mengucapkan semuanya keras-keras.
“Kenapa lagi sekarang?” tanya Sam tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
“Bocah Teague itu! Mengalahkanku dalam taruhan!” teriak Dean di muka sang adik. Jelas, dikalahkan seorang mahasiswa dalam perjudian merupakan suatu penghinaan baginya.
“Yah, aku kan sudah bilang, dia jago main...”
“Tapi kau tak bilang ia menguasai judi pacuan juga!”
Sam mengangkat satu alis. “Judi pacuan?”
“Yeah, dia mengajakku ke pacuan siang ini, menantangku pula. Kupikir ia juga belum pernah main jadi....”
“Salahmu sendiri. Kau kan tak tahu apa-apa soal kuda. Sedangkan dia, salah satu sumber kekayaannya diraup dari bisnis pacuan. Teague Corp membawahi beberapa joki kelas atas, dengan kuda-kuda terbaik – itu juga baru kuketahui sore tadi!” Sam buru-buru menangkis kepalan Dean.
“Minggat kau, Sam!” rutuk Dean.
“Kebetulan sekali, aku memang mau pergi. Sudah tiba waktu jagaku,” kata Sam, nyengir.
Maka ia pun melenggang keluar, sementara Dean mengamuk dalam kamar, menendang kaki meja sampai patah. Sam menghela nafas. Manajer motel pasti akan menuntut mereka untuk itu.
* *
“Dia keluar dari apartemen. Apa menurutmu aku harus mengikutinya?”
“Tidak. Lihat saja sekelilingmu. Ada Jaguar hitam?”
“Jaguar dengan stiker Berrisford? Lima meter di depanku, kira-kira.”
“Bagus. Sekarang, coba dekati mobil itu, kempeskan bannya. Oh, dan kalau bisa merangkaklah ke bawahnya, lalu ambil dompet Teague selagi ada kesem...”
“Dean!”
“Apa?”
“Berhenti bersikap kekanak-kanakkan!”
“Dia mengambil uangku, Sam!”
“Tidak, kau kalah taruhan. Uang itu resmi miliknya sekarang.”
“Yeah, terimakasih ceramahnya, Tuan Sok Tahu.”
“S**t!”
“B***h.”
“Bukan kau, Dean! ada seseorang mengikutinya!”
“Apa? Siapa?”
“Entahlah, tak terlihat dari sini – ia memakai penutup kepala – oh sial!”
“Ada apa? Sam!”
“Dia menyerang – aku harus menghentikannya!”
“Siapa menyerang siapa? Hei, Sam!” Dean berteriak ke ponselnya. Tak ada jawaban.
Tak lama kemudian, terdengar raung dan teriakan dari ponsel. “Sam! Sam, ada apa? Sammy, jawab!”
Sambungan terputus.
* *


IV - He Wasn’t

“Akhirnya kau sadar juga.”
“Di mana ini?”
“Rumah Sakit. Kutemukan kalian berdua pingsan. Apa yang terjadi?”
“Entahlah. Seseorang memukulku dari belakang, kurasa....”
“Kau lihat pelakunya?”
“Tidak, sudah kukatakan bukan? Ia memukulku dari belakang.”
Dean mengumpat keras. “Kau sama sekali tak tahu?”
“Tidak. Dan bisakah kau pergi sekarang? Kepalaku pusing sekali. Aku butuh tidur.”
Wajah Dean tampak terkejut mendengar kata-kata pengusiran itu, tapi segera berubah lunak. “Yeah, istirahatlah kalau begitu, Nak. Aku akan menemui dia.”
Dean beranjak pergi. Sebelum keluar kamar ia berbalik dan berkata, “coba ingat-ingat lagi, mungkin kau sempat melihat wajahnya sebelum pingsan. Mungkin saja itu Si Mata Kuning – dan kalau benar, berarti kita mengintai orang yang salah. Aku akan kembali nanti.” Ia menutup pintu.
Apa sih yang dia bicarakan?
* *
“Aku merasa seperti babysitter,” gerutu Dean, bergegas melintasi koridor. Kenapa Rumah Sakit tidak menempatkan dua anak itu di satu bangsal? Merepotkan saja!
Jason sedang duduk bersandar di ranjang ketika Dean masuk ke kamarnya.
“Hei, Bung. Bagaimana keadaanmu?”
“Lumayan. Kecuali bagian belakang kepalaku yang serasa habis dipukul martil.”
“Yeah, pelakunya pasti sangat ingin membunuhmu.”
“Benar. Ia ingin melenyapkan saksi penyerangan, tentu saja. Bocah peternakan itu.”
“Bocah peternakan? Maksudmu Clark Kent?”
“Ya. Aku sempat menarik penutup kepalanya, sebelum ia menghantamku. Matanya, Dean! Berwarna kuning! Ia kerasukan!”
“Tunggu,” kata Dean heran, “kau tahu tentang iblis itu? Maksudku, aku tahu kau melakukan penelitian tentang mereka, tapi aku tak tahu kau sudah sampai si mata kuning segala.”
“Ngomong apa sih kau? tentu saja aku tahu. Kuhabiskan tiga tahun terakhir untuk memburunya bersamamu. Dia menjebak kita, Dean. Membuat seolah-olah bocah itulah yang kerasukan, agar aksinya luput dari perhatian. Kita mengikuti orang yang salah! Oh, dan omong-omong, bagaimana keadaan Teague?”
Dean tidak menjawab, hanya terpana menatap lawan bicaranya.
“Dean?” Jason menggoyangkan tangan di depan pria itu. “Halo? Kau mendengarku?”
“Sam?”
“Apa?”
“Astaga, kau Sammy?!”
“Bukankah sudah jelas?!”
“Tidak, tidak jelas sama sekali,” kata Dean, menggeleng. “Iblis keparat itu telah melakukan lebih dari sekedar memukul kepala kalian, Bung.”
“Apa yang ia lakukan? Membunuh Jason?”
“Lucu sekali mendengarmu ngomong begitu.”
“Memang ada apa sih? Apa yang terjadi?”
“ Kau tidak merasa ada yang aneh?”
“Tidak. Dean, kenapa sih? Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah serangan itu!”
Dean menghela nafas. “Well, kau akan tahu. Tunggu.” Ia beranjak menuju kamar mandi. Kembali beberapa saat kemudian sambil membawa cermin, lalu disodorkan pada Sam.
Andai Dean membawa kamera, ia pasti akan mengabadikan ekspresi pemuda itu.
* *

“Jason, bangun.”
“Uh... biarkan aku tidur sebentar....”
“Jason, hei!” seseorang mengguncangnya.
“Berisik!”
“Buka matamu sebentar saja kenapa sih?”
Jason menutup kepalanya dengan bantal, tanpa membuka mata sedikit pun. “Nanti saja setelah aku bangun. Pergi sana!”
Bantalnya ditarik dengan kasar.
“Ada ap – astaga!” teriak Jason. Di sisi ranjangnya, ada Dean si asisten pelatih klub berkuda wanita, berdiri sambil memegang bantal. Dan di sampingnya, tampak dirinya memandang Jason dengan tampang kesal.
“Kejutan,” katanya.
“Demi Tuhan! Siapa kau?!” tanya Jason ketakutan.
“Aku adalah kau. Secara fisik, setidaknya. Dan kau adalah aku.”
“Apa?!”
Dean memutar bola mata. “Dia pasti juga belum bercermin,” gumamnya pada si-entah-siapa-yang-berwajah-Jason. Dia mengangguk.
“Apa-apaan ini?! siapa kalian?!”
“Tenanglah Jason. Kau akan mengerti.” Dean menyodorkan cermin yang menyadarkan Sam tadi.
Jason memandangi bayangan di situ dengan terpana. Perlahan dirabanya pipi, hidung, dan rambutnya. Tak mungkin. Bukan wajah itu yang ia lihat ketika bercermin kemarin. Bukan wajah itu yang ia lihat ketika bercermin sepanjang hidupnya. Ia menjadi orang lain!
“B...bagaimana....” Jason tergagap, lalu berpaling. “Apa yang telah kalian lakukan padaku?!” tuntutnya pada dua orang asing itu.
“Kami tak melakukan apa-apa. Clark Kent yang melakukan ini pada kita,” jelas si-wajah-Jason.
“Apa?!”
“Ingat orang yang memukulmu dari belakang? Dia Clark. Dan ia tak hanya menyerangmu, tapi aku juga, ketika berusaha menolongmu. Pada saat itulah, kurasa, ia menukar tubuh kita.”
“Apa?!” Teriak Jason lagi, seolah hanya kata itu saja yang ia kenal seumur hidupnya.
“Aku tahu ini aneh, tapi begitulah,” kata si-wajah-Jason, mengangkat bahu. “Oh dan omong-omong, namaku Sam.”
Ada jeda sejenak ketika Jason terbengong-bengong, berusaha memahami apa yang terjadi. Ia kembali menatap Sam, menelusurinya dari atas sampai bawah. Kemudian menggeleng. “ Ini pasti mimpi. Mimpi yang benar-benar buruk,” katanya tercekat, lebih pada diri sendiri daripada Sam.
“Kuharap juga begitu,” jawab Sam.
“Bagaimana mungkin Clark melakukan ini?! Maksudku – mustahil!”
“Well, bukan Clark yang sesungguhnya, sebetulnya. Ia kerasukan. Iblis yang merasukinyalah yang menukar kita.”
“Iblis?”
“Yeah Jason, iblis,” Sam menekankan kata terakhir, “makhluk apalagi yang bisa berbuat macam ini? kau pasti tahu, Jason. Kami telah menyelidiki tentangmu – maaf saja – dan kami tahu kau, keluargamu tepatnya, secara turun temurun mempelajari mereka.”
Jason ingin bertanya kenapa mereka menyelidikinya diam-diam. Apa yang mereka inginkan? Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka juga tahu tentang iblis? Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, “aku tidak tahu mereka bisa menukar tubuh orang lain.”
“Oh well, sejujurnya, kami juga baru tahu lima belas menit yang lalu. Padahal kami sudah memburu mereka nyaris sepanjang hidup,” jawab Sam.
Jason menelan ludah. “Apa – apa kalian pemburu?”
Sam mengerutkan dahi. “Tak kusangka kau tahu istilah itu. Ya benar, kami pemburu. Dari Amerika.”
“Tentu saja aku tahu. Keluarga Teague menjadi informan terbesar bagi para pemburu di Inggris, termasuk juga memfasilitasi mereka.”
“Beruntung sekali,” timbrung Dean, “di Amerika, kami semua dianggap teroris dan jadi buronan.”
“Sudahlah, bukan waktunya membahas itu,” ujar Sam, “sekarang masalahnya, bagaimana kita kembali seperti semula?”
“Kau bilang Clark yang menukar kita, berarti......” wajahnya tiba-tiba berubah ketika teringat sesuatu. “CLARK?! Yang kerasukan Clark, kan?! Clark Kent?!”
“Kukira kau sudah menyadarinya dari tadi.”
“Tidak – maksudku – aku tahu ada yang tak beres dengannya, tapi... sama sekali tak terpikir – aku – sial!”
“Jangan panik, Jason. Ada apa?”
“Aku sudah tahu ada yang tidak beres dengannya, makanya aku menjauhkan Benyth dari dia – sudah sejak awal aku merasa dia ingin mencelakai Benyth – tapi aku sama sekali tak menyangka kalau dia kerasukan iblis dan sekarang dia pasti mengincar Benyth!” berondong Jason dengan kecepatan lima puluh kilometer per detik.
“Nah, itu dia.”
“Itu dia apa?!”
“Kami juga sudah tahu ada yang mengincar Benyth. Tadinya kami kira itu kau. Kita kecolongan, Bung,” kata Sam.
Jason mengumpat keras. Buru-buru ia turun dari ranjang. “Aku harus memperingatkan Benyth,” ujarnya, bergegas ke pintu.
“Tunggu dulu! Jangan gila, Jason!” Sam menarik lengannya.
“Benyth mungkin saja dalam bahaya, aku harus mencegahnya bertemu Clark!” teriak Jason di muka Sam sambil berusaha melepaskan diri.
Sam memperkuat cengkeraman. “ Yeah benar, tapi coba pikir, bagaimana reaksinya jika orang asing datang ke rumahnya, mengatakan kalau temannya kerasukan iblis dan dia harus menjauh! Justru Benyth akan menjauhimu Jason, ia akan mengira kau gila!”
“Aku bukan orang asing, aku pacarnya!”
“Tidak selama kau berada dalam tubuhku.”
Jason menyingkirkan tangan Sam dari lengannya. Ia berlutut di lantai, menarik rambut dan menggerung frustasi. “Apa yang harus kulakukan?”
“Kita pikirkan bersama-sama,” kata Sam, “kau bantu juga dong Dean, jangan diam saja!”
Dean menatap sosok Jason yang kini bersidekap sambil menunggu solusi darinya, dan sosok Sam yang berlutut frustasi di lantai. Ia menggeleng. “Aku benar-benar menonton siaran langsung Freaky Friday,” katanya takjub.
* *

V - Hit You with the Real Thing

Alecia berada di sebuah koridor gelap. Koridor rumah mewah, kalau dilihat dari lantai marmer berlapis karpet merah, jendela-jendela besar di sisi tembok dan baju zirah yang yang terpajang. Perlahan ia menyusurinya, sementara gerimis mengguyur di luar, menambah cekam suasana malam.
Tiba-tiba terdengar jeritan wanita, beberapa kali letusan laras, dan ledakan keras. Spontan Alecia melihat keluar. Sisi lain rumah terbakar! Apa yang terjadi? Alecia berlari ke arah kebakaran. Mungkin saja ada yang butuh pertolongan!
Ia bertabrakan dengan seseorang di belokan.
“Licy!”
Alecia menatap si penabrak. Seorang pemuda berambut pirang. Ia terengah-engah dan tampak ketakutan. Pistol tergenggam erat di tangannya.
“Eric?”
“Licy, syukurlah. Kupikir kau sudah tertangkap!” Eric memeluk Alecia.
“Tertangkap apa? Eric, ada apa?”
Eric menggeleng. “Kujelaskan nanti. Kita harus pergi secepatnya. Ayo!” ia menarik tangan Alecia dan membawanya berlari menyusuri koridor. Mereka terus berlari sampai kehabisan nafas. Pintu keluar rasanya jauh sekali. Dan ketika akhirnya sampai, sudah ada yang menghadang mereka. Tiga orang, berdiri di depan pintu keluar sambil tersenyum jahat. Alecia terpekik melihat matanya. Rongga mata ketiganya berwarna hitam sempurna!
“Kalian tak bisa pergi,” kata seorang wanita yang berdiri di tengah.
Eric menyembunyikan Alecia di balik punggungnya, lalu mengacungkan pistol. “Minggir, atau kutembak kalian!”
Tiga orang itu malah tertawa. “Coba saja, anak muda. Meskipun aku yakin bukan kami yang akan tewas malam ini,” kata laki-laki berjubah hitam, diikuti bahak kawan-kawannya.
“Pertama kau dulu, kemudian adikmu yang manis....”
“Demi semua yang suci, tak akan kubiarkan kau menyentuh adikku!” teriak Eric, menarik pelatuk. Peluru menyarang ke dada si wanita. Tapi alih-alih roboh, ia malah tersenyum penuh kemenangan.
“Tak bisa semudah itu, tampan,” katanya. Ia mengangkat tangan dan seketika Eric terhempas di dinding, tak bisa melepaskan diri. Seolah ada paku yang menahannya.
“Licy, lari!” seru Eric sementara ketiga iblis mulai mengepungnya.
Alecia menyambar pistol kakaknya yang terjatuh, lalu mengambil langkah seribu. Ketika kembali ke koridor, ia mendengar jeritan sang kakak. Terus berlari. Takut. Ia tak tahu apa yang terjadi. Ia harus keluar dari rumah sekarang juga. Namun tiba-tiba di hadapannya muncul seorang pria. Berbeda dengan yang lain, pria itu bermata kuning.
“Halo, anak manis,” kata pria itu.
Alecia menjerit.

* *

Alecia terbangun, dan mendapati dirinya terbaring di sofa warna lemon, terengah-engah. Ia meraba-raba meja di belakangnya, mengambil jam digital. Pukul satu pagi. Ia pastilah ketiduran waktu nonton DVD.
Perlahan Alecia bangkit menuju dapur. Diambilnya sebotol air mineral dari kulkas dan meneguknya habis. Kemudian duduk menenangkan diri. Alecia menyisir rambut dengan tangannya, mendengus. Sial, jelek benar mimpinya tadi! Pasti gara-gara DVD horor itu.
Ini jelas bukan weekend terbaik Alecia. Harusnya malam ini ia bersama Benyth, yang berjanji akan menginap di flatnya. Ia sudah menyewa empat kaset untuk ditonton sepanjang malam, menyiapkan ruang TV senyaman mungkin, dan membeli banyak makanan. Tapi tiba-tiba sahabatnya itu menelepon.
“Al, maafkan aku. Aku tak bisa menginap malam ini. Clark mengajakku ke Stevenage, nonton Festival Kembang Api. Maaf, kalau lain kali saja bagaimana?”
Tak terkatakan bagaimana dongkolnya Alecia. Kan ia dulu yang janjian dengan Benyth! Tapi ia sahabat yang sangat pengertian. Bagaimanapun juga Benyth baru saja patah hati, dan kencan dengan Clark akan membantu menghilangkan kesedihan. Siapa tahu Benyth akan dapat pacar baru. Lagipula Clark jauh lebih layak dibanding Jason. Kalau cowok brengsek itu yang mengajak Benyth, Alecia tak mau membatalkan pesta menginap. Kali ini saja ia mengalah. Demi percintaan Benyth.
Bel berdering. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Dasar tak sopan! Untung saja ia berada di flat mewah dengan keamanan top, jadi tak mungkin yang mengebel adalah pemabuk gila. Setidaknya, sipapun itu, ia benar-benar tamu.
Alecia membuka pintu. Jason, Dean Reed, dan seorang pemuda lain berdiri di hadapannya.
“Eh, hai Al...”
Pintu ditutup.
“Al, kita perlu bicara!”
“Pulang sana! Jangan ganggu aku!”
“Ini tentang Benyth!”
“Aku tak berminat mendengar penyesalan gombalmu atas apa yang kau lakukan pada Benyth. dan jangan harap aku mau membantumu balik dengannya!”
“Bukan soal itu, Al! Dengar, Benyth sedang dalam bahaya.”
“Omong kosong! Dia sedang pergi dengan Clark!”
“Apa?! Pergi kemana dia?”
“Bukan urusanmu!”
“Tentu saja urusanku! Al, buka!” pintu digedor keras.
“Pergi sekarang atau kupanggil petugas keamanan!”
“Jangan ngaco, Al! Buka! Ini penting!”
Untung saja di lantai tiga, hanya flat Alecia yang terisi. Jika tidak, tetangga-tetangganya pastilah sangat terganggu oleh keributan Alecia dan Jason, yang saling berteriak walau hanya dibatasi sebuah tembok.
Akhirnya, setelah bermenit-menit debat dan kompromi, Alecia bersedia membuka pintu.
“Kau punya waktu lima menit untuk menjelaskan apa maumu,” kata Alecia, menekan penghitung mundur di ponselnya.
“Al....” desah si pemuda asing. Gadis itu tak menggubris.
“Cepat, J. Waktumu terus berjalan.” Alecia membentak Jason.
“Well, baiklah,” ujar si pemuda asing putus asa. “Begini. Tadi sekitar jam tujuh aku....”
Alecia menatapnya galak. “Seingatku aku tak menyuruhmu bicara, Bung. Aku menyuruh Jason. Lagipula siapa kau? Aku tak mengenalmu.”
Dean mengeluarkan semacam tawa garing. Alecia melotot. “Dan apa yang kau lakukan di sini, heh? Pelatih genit?”
“Aku menemani kedua bocah yang baru saja tertimpa musibah ini.”
“Oh, kasihan,” ejek Alecia. “Musibah apa yang menimpamu, J? Kalah taruhan?”
“Tidak, Al. Dengar....”
“Sudah kubilang aku tak bicara dengamu!” bentak Alecia.
“Tentu saja kau bicara denganku. Aku Jason, tahu!” kemudian ia mulai menjelaskan bagaimana ia dan Sam, nama pemuda asing itu, bisa bertukar tubuh. Tapi belum selesai bicara, Alecia sudah memotong.
“Yeah, oke. Waktu kalian habis, tuan-tuan mabuk. Selamat malam!” ia menarik pintu.
Jason menahannya. “Aku tidak mabuk, Al! Ini benar! Buka pintunya, kita perlu bicara!”
“Pergi kalian! Jangan ganggu aku!” seru Alecia, berusaha melepas tangan Jason yang menahan pintunya. “Pergi! Pergiiiii!”
Menyela keributan itu, tiba-tiba terdengar suara Beyonce, melantunkan lagu Irreplaceable. Ponselnya. Alecia berhenti bergumul dan meraih ponsel di sakunya.
Benyth.
“Halo?”
“Siapa Al? Benyth?”
“Ya, ya. Ada apa? Bukankah kau seharusnya... apa?! Bagaimana bisa...... lalu di mana kau sekarang? Apa?! Halo? Ben? Benyth!”
Jason menyambar ponsel Alecia. “Benyth? Benyth!” raungnya ke ponsel.
“Percuma. Sudah diputus,” kata Alecia, mengambil ponselnya lagi.
“Dia bilang apa?” tuntut Jason.
Alecia menggeleng. Ia menggigit bibir, tampak sangat cemas. “Kalian mengatakan yang sebenarnya, kan?” tanyanya.
“Tentang apa?”
“Pertukaran tubuh. Clark kerasukan. Semua hal itu.”
“Tentu saja!”
“Oh, tidak,” bisik Alecia, menekap mulut.
“Al, kenapa Benyth?” tanya Dean lembut.
“Benyth bilang Clark tidak membawanya ke Stevenage,” jelas Alecia, suaranya bergetar hampir menangis. “Dia bilang Clark membawanya ke tempat asing dan merencanakan sesuatu padanya, tapi dia sendiri tak tahu apa. Tadi ia menelepon sembunyi-sembunyi. Ia bilang sedang berada di Red Star, dan memintaku segera menolongnya.”
“Red Star? Di mana itu?” tanya Sam.
“Aku tak tahu!” lengking Alecia histeris. “Aku bahkan tak tahu apa itu. Demi Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?” ia menutup wajahnya dengan tangan. “Harusnya tak kubiarkan dia pergi! Harusnya ia aman di sini bersamaku!”
Tangisnya pecah, membuat Jason dan Dean kebingungan. Biar gombalnya bukan main, mereka tak tahu bagaimana menghadapi seorang gadis yang menangis. Sam-lah yang akhirnya meng-handle situasi.
“Kita masuk dulu, oke? Kau tenangkan dulu dirimu.” Dan ia menggiring Alecia masuk flat, diikuti Dean dan Jason yang terkagum-kagum melihat cara Sam menjinakkan Alecia.
* *
“Ceritakan padaku sekali lagi, sedetail-detailnya,” tuntut Alecia. Ia sudah jauh lebih tenang sekarang, setelah menghabiskan segelas besar teh pahit.
“Yeah, oke.”
Ketiga pria itu pun mulai bercerita, dari sudut pandang masing-masing. Dimulai dari Sam dan mimpinya, keberangkatan Dean dan Sam ke Inggris (bagian Dean pingsan disensor, tentu saja), penyelidikan yang mereka lakukan (Alecia dan Jason sempat protes mengetahui kehidupan pribadi mereka dikuak sembunyi-sembunyi), spekulasi yang salah akibat peristiwa Jason versus Clark, sampai pengawasan Sam malam itu, di mana ia melihat seseorang memukul Jason dan ketika ia berusaha menolong, orang itu memukulnya juga, lalu Sam menarik penutup kepalanya dan sebelum pingsan ia melihat wajah Clark.
Sementara Jason, ia bercerita malam itu akan pulang mengunjungi orangtuanya di Bristol (Dean mendengar Alecia bergumam, “dasar anak Mami!”). Ketika membuka pintu mobil, tiba-tiba seseorang memukulnya dari belakang, membuatnya pingsan dan ketika terbangun, tiba-tiba saja ia sudah menjadi orang lain. Sebagai tambahan, Jason juga menjelaskan secara singkat tentang kecurigaannya pada Clark, alasan ke-overprotektifan-nya, dan khusus untuk Alecia, ia menerangkan tentang iblis dan proyek undercover keluarga Teague: menjadi informan pemburu.
Usai bercerita, ketiganya bisa melihat Alecia amat shock dengan apa yang ia dengar. Ia berusaha mencerna semua, beberapa kali mengajukan pertanyaan yang sama untuk meyakinkan diri, dan akhirnya, setelah memastikan ia tak salah dengar dan salah paham, Alecia berkata putus asa, “jadi apa yang diinginkan iblis dari Benyth?”
“Itulah, sampai sekarang kami belum tahu,” kata Dean.
“Aku tahu,” ujar Jason, membuat tiga yang lain terperanjat.
“APA?!” seru mereka bersamaan.
“Yah, ini hanya dugaanku sih, tapi aku yakin benar – setidaknya sembilan puluh persen,” kata Jason, alisnya berkerut tanda sedang berpikir keras. “Dulu kami pernah menolong seorang pemburu yang mengejar iblis, dan dari informasi yang kami dapatkan untuknya, aku tahu iblis membutuhkan darah suci untuk memperoleh kekuatan – atau lebih tepatnya, menjadi terkuat diantara iblis; menjadi pemimpin mereka.”
“Darah suci,” gumam Sam, “ya, aku ingat! Itulah yang dikatakan si mata kuning dalam mimpiku!”
“Mata kuning?” ulang Alecia.
“Pemimpin iblis memiliki ciri khas. Mereka bermata kuning dan meninggalkan jejak sulfur,” jelas Dean. “Kami pernah membunuh satu diantaranya. Tampaknya sekarang calon pemimpin baru telah muncul, dan ia mengincar Benyth untuk memperoleh kedudukan itu.”
Alecia menekap mulut, matanya berkaca-kaca.
“Masalahnya, kenapa Benyth?” gumam Jason tak habis pikir, “maksudku, jika mereka menginginkan darah suci – yah, mereka kan bisa mencari perawan lain!”
“Apa yang dimaksud darah suci adalah darah perawan?” tanya Sam.
“Tidak, tidak harus perawan,” kata Alecia. Semua menengok ke arahnya. “Darah suci artinya darah keturunan khusus. Mereka yang ditakdirkan menjadi buruan iblis selamanya.”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Jason.
“Kau bilang kau informan pemburu, kan?” kata Alecia. Jason mengangguk. “Kau pasti pernah mendengar sebuah legenda tentang keluarga terkutuk. Keluarga yang membuat perjanjian dengan iblis demi kekayaan. Iblis akan mengabulkan permohonan itu dengan satu syarat: keturunan keluarga itu akan memiliki darah khusus – darah yang diperlukan oleh iblis untuk menjadi perkasa. Dan setiap kali ada calon pemimpin iblis.....”
“Seorang anggota keluarga harus ditumbalkan kepada mereka,” lanjut Jason. “Ya, aku pernah membacanya di sebuah naskah kuno dari Jerman.”
“Wah, aku malah belum pernah dengar yang macam itu,” celetuk Dean.
“Berarti, Benyth adalah salah satu anggota keluarga itu?” Sam menyimpulkan.
“Pastinya. Tapi aneh, Benyth tak pernah cerita apa-apa padaku tuh!”
“Yeah, mana mungkin dia memberitahu pacarnya kalau dirinya dikutuk,” tanggap Dean sambil mencomot sepotong kue di meja.
“Tidak, bukan Benyth,” Alecia menggumam.
“Apa maksudmu?” tanya Jason dan Sam bersamaan. Dean yang sedang sibuk mengunyah kue hanya mengangkat alis.
“Ada tanda-tanda khusus. Kelebihan supranatural yang hanya dimiliki keturunan keluarga terkutuk. Iblis itu pastilah melihat tanda-tandanya di sekitar Benyth, dan mengira dialah orangnya. Mereka salah tangkap!” Alecia mulai menangis lagi.
“Al? Al, jangan bilang kau....”
“Lihat ini!” jerit Alecia, mengacungkan tangannya ke meja. Seketika gelas bekas teh di atasnya melayang sepuluh senti di udara. Jason berteriak kaget. Sam terkesiap. Dean tersedak. “Kudapatkan kemampuan ini sejak lahir, demikian juga mendiang ibuku. Akulah keturunan darah suci itu! Aku!” ia begitu histeris hingga kekuatannya tak terkontrol. Benda-benda di sekeliling mereka mulai beterbangan. Jendela-jendela membuka dan menutup. Lampu-lampu nyala-hidup. Jason nyaris tertusuk pisau yang melayang dari meja dapur. Untung Sam menariknya tiarap.
“Alecia, tenang!”
“Cuma Benyth yang tahu kekuatanku! Selama ini aku menyembunyikannya, hanya kugunakan untuk melindungi Ben! Melindungi dia! Menghindarkan dia dari bola yang mengarah padanya, menyelamatkan ketika ia nyaris terpeleset dari tangga, menjauhkan tropi yang nyaris menimpa kepalanya! Sering sekali aku melakukan itu dan tak seorang pun tahu akulah si pemilik kekuatan telekinesis! Clark, Clark pastilah mengira itu kemampuan Benyth sendiri! Aku telah mendorong sahabatku ke sarang singa!”
“Alecia, tenangkan dirimu!” teriak Sam, berusaha menandingi home theater yang menyala dengan suara maksimal.
“Kalau saja aku tidak gegabah. Kalau saja aku lebih mengenal Clark, ini tak akan terjadi!”
“Alecia!”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Alecia. Dari Dean. Sam dan Jason tergugu.
“Bukan waktunya menyalahkan diri sendiri. Kendalikan dirimu, Al. Yang harus dilakukan sekarang adalah menyelamatkan Benyth, dan kita tidak bisa membuat rencana benda-benda ini beterbangan dimana-mana. Berhenti menangis, oke? Dan kita pikirkan langkah selanjutnya.”
Alecia terisak, tapi toh ia mengangguk. Perlahan diusapnya airmata yang memenuhi wajahnya. Benda-benda kembali ke tempat semula. Keadaan normal seketika.
“Jadi, Clark salah tangkap,” Jason membuka kembali percakapan, suaranya terdengar agak shock. “Itu artinya, ada kemungkinan Benyth tak akan disentuhnya.”
“Tidak, tidak seperti itu,” sanggah Dean, “ketika Clark tahu bukan Benyth yang ia cari, Benyth juga sudah tahu Clark bukan manusia. Dia akan tetap dibunuh untuk menjaga rahasia.”
Alecia terisak kecil.
“Tapi kalau kita cepat bertindak, pasti masih ada waktu,” kata Sam buru-buru.
“Aku ada rencana. Begini. Kita cari tahu tentang Red Star. Aku dan Sam akan pergi ke sana, mencari informasi. Pasangan jet set muda pasti menarik perhatian, tak mungkin tak ada yang melihat mereka. Kami akan berusaha mengejar Clark. Sementara itu, kalian berdua, pantau kami lewat internet. Aku akan mengaktifkan GPS ponselku. Oh ya, dan jangan lupa, kirimkan peta lokasi di mana pun kami berada, terutama lokasi stadion di sekitar daerah itu. Karena – berdasarkan mimpi Sam – kemungkinan besar Clark membawa Benyth ke stadion. Kami akan membereskan iblis itu dan membawa Benyth pulang. Bagaimana? Setuju?”
“Ya,” jawab Sam.
“Tidak,” jawab Jason, “aku ikut mencari Benyth.”
“Aku juga,” Alecia ikut-ikutan.
Dean tampak berang. “Jangan macam-macam! Kalian tidak tahu apa yang kita hadapi!”
“Aku tahu. Iblis,” kata Jason.
“Ya, dan sebagai informan pemburu, kau tentunya paham kan, bahayanya berurusan dengan mereka? Ini pekerjaan profesional! Kami tak bisa membawa kalian, kalian bisa mati!”
“Dan bagaimana dengan Benyth? Dia bisa mati juga, kan?”
“Kami akan menyelamatkannya.”
“Begitu juga aku. Aku pacarnya. Akan kulakukan segalanya demi Benyth.”
“Dan aku sahabatnya. Aku yang menjatuhkannya dalam bahaya, tak ada orang yang lebih berkewajiban daripada aku untuk menolongnya.”
“Kalian akan tetap menolong Benyth, dengan membantu kami secara online. Mengerti?”
“Tidak. Akan lebih cepat jika kita mencarinya dalam dua kelompok. Lagipula, kami tetap bisa online sambil bermobil.”
“Oh ya, dan omong-omong soal mobil,” sambung Jason penuh kemenangan, “kalian berdua tak punya mobil. Kami yang punya. Dan tak akan kuijinkan kalian memakai mobilku kalau aku tak ikut serta.”
“Benar. Aku juga.”
Dean dan Sam berpandangan. Skakmat.
“Inilah akibatnya kalau berburu tanpa membawa kau, sayang,” gumam Dean, mengingat Chevy Impala kesayangannya di Amerika.
*

VI - Story of My Life

Rencana dijalankan. Dean dan Sam kembali ke motel, mengambil senjata. Jason kembali ke flat, mengambil mobil. Alecia mencari info tentang Red Star sambil menunggu ketiga orang itu siap.
Ketika Dean dan Sam keluar sambil menenteng senapan, hal pertama yang mereka lihat adalah Jason yang tengah berkacak pinggang. Cowok bertampang Sam itu sedang diskusi (atau adu mulut) seru dengan Alecia.
“Bagaimana? Sudah ketemu Red Star-nya?”
“Ya – s**t!” seru Jason. Buru-buru ia melihat sekeliling. “Kalian gila apa?!” desisnya.
Dean mengangkat satu alis. “Kenapa memangnya?”
“Membawa senjata semencolok itu! Sekarang sudah pagi, tahu! Bagaimana kalau ada yang melihat?”
Dean melihat jam. “Wah benar. Sudah jam enam.”
“Kau menyebalkan sekali, sih? Apa benar kau pemburu profesional? Semua pemburu relasiku tidak ada yang bertindak bodoh dengan pamer senjata di jalanan!”
“Maaf? Pamer senjata? Perlu kau ketahui Nak, kami ini sangat profesional hingga kalau polisi memergoki kami membawa bazoka sekalipun, kami tetap bisa berkelit...”
“Oh ya? Jadi kau mengambil resiko....”
Sementara Dean dan Jason memperdebatkan hal tak penting, Sam dan Alecia berdiskusi. Berdasarkan pencarian Alecia, Red Star adalah nama bar yang memiliki beberapa cabang. Menurut mereka hanya dua bar yang potensial sebagai tempat Benyth menelepon. Satu di pinggiran London, dekat Dartford dan satu lagi di Luton. Masalahnya, dua kota itu berlawanan arah, sehingga mau tidak mau mereka memang harus berpencar.
“Oke guys. Kita bagi kelompok – sedang apa kalian?” tanya Sam heran.
Dean dan Jason yang sedang bergulat jari untuk membuktikan tangan siapa yang paling tangkas (Jason berpendapat pemburu profesional pastilah mempunyai jari kuat karena terbiasa menarik pelatuk) langsung berhenti, tampak salah tingkah. Alecia memutar bola mata.
“Kalian ini sempat-sempatnya.” Sam geleng-geleng kepala.
“Bagaimana Red Star-nya?” Dean membelokkan pembicaraan.
Sam lalu menjelaskan posisi bar dan keharusan mereka berpencar menjadi dua kelompok. Dean menolak mentah-mentah menjadi partner Jason, demikian pula sebaliknya. Maka diputuskan Jason bersama Sam menuju pinggir kota London, sementara Alecia dan Dean menuju Luton. Pembagian ini berdasar pertimbangan, setidaknya ada seorang pemburu di tiap kelompok yang bisa bertindak kalau-kalau menemukan iblis.
“Ingat, stay contact. Beritahu kalau kalian mendapat petunjuk apapun tentang keberadaan mereka, oke?” Dean mengingatkan Sam.
“Yeah, itu sih sudah tahu. Memangnya bodoh apa,” gumam Jason, yang nyaris saja memancing Dean untuk berdebat lagi. Untung Alecia langsung mengancam, jika mereka ribut sedikit saja, maka ia akan menendang alat keduanya. Dean dan Jason terdiam. Ancaman Alecia tak pernah main-main.
* *
Mobil Jason menghilang di tikungan.
“Ayo, kita juga. Keburu siang nih.”
Dean mengikuti Alecia menuju lapangan di mana mobil cewek itu diparkir. Tadinya Dean mengira mobil Alecia pastilah sejenis Mercedez yang akan membuatnya merasa seperti banci bila menaikinya. Untung selera Alecia berbeda dengan kebanyakan cewek lain. Ia mengendarai Jeep hitam super sangar. Dengan begini, Dean tetap bisa merasa cool.
Keduanya melompat ke jok masing-masing – Alecia menyetir, Dean di sampingnya. Tapi baru saja duduk, ia langsung bangkit lagi dengan kaget.
“Astaga, kukira apa,” kata Dean, mengambil pistol dari joknya.
“Sori. Tadi kulemparkan buru-buru ke mobil, tak tahu kalau mendarat di jok.” Alecia mengulurkan tangan meminta pistol. Tapi alih-alih diberikan, Dean malah mengutak-atiknya.
“Hmm.... bukankah ini Heckler and Koch USP?”
“Yeah. Kemarikan.” Alecia berusaha meraihnya.
Dean menjauhkan pistol dari jangkauan Alecia.
“Berikan padaku. Aku tak punya waktu untuk bercanda.”
Dean menggeleng. “Kau tak memerlukannya.”
“Oh ya, aku perlu. Berikan padaku.” Alecia mencondongkan tubuh. Tangannya menggapai-gapai berusaha merebut pistol dari Dean, tapi pria itu lebih tangkas. Tangannya berkelit dengan lihai.
“Berikan padaku!” bentak Alecia akhirnya.
“Benda ini tak akan berguna, sungguh. Yang akan kau hadapi itu iblis. Tak mempan peluru.”
Alecia berhenti, kembali ke posisi duduk semula. Ia bersidekap. “Aku sudah tahu.”
“Jason memberitahumu?”
“Dia memberiku colt khusus. Pelurunya terbuat dari–” ia tak melanjutkan kalimatnya.
“Campuran perak dan garam padat, yeah,” sambung Dean, menyeringai. “Tak usah khawatir terdengar bodoh. Aku juga memakai colt macam itu.”
Alecia hanya mendengus.
“Jadi,” kata Dean, “tentunya kau setuju kalau kusimpankan dulu senjata ini untukmu, oke? Aku tak mau kau membunuh orang-orang dengan ini.”
“Memang gila apa,” komentar Alecia sinis. “Apa hakmu mengatur-atur apa yang boleh kubawa dan yang tidak?”
“Tidak ada, sebetulnya. Hanya saja kupikir, tentunya tidak menguntungkan bagi seorang pewaris perusahaan raksasa sepertimu jika memiliki embel-embel pelaku pembunuhan tak berencana.....”
“Jika maksudmu aku bisa salah tembak, maaf saja, itu tak mungkin. Aku atlet tembak profesional, tahu,” kata Alecia, dan dengan gesit merenggut HK-nya ketika Dean sedang lengah, cepat-cepat menyimpannya di balik jaket.
“Yah well, oke, kalau kau merasa lebih aman membawanya,” kata Dean, mengangkat bahu. “Tapi berjanjilah kau tak akan menggunakannya. Atau lepas magazinenya sekalian.”
“Tidak.”
Dean kehabisan kesabaran. “Sebenarnya kau paham tidak, sih? Kita mengejar iblis! Iblis! Dia tidak akan mati walau kau tembak dengan–”
“Sudah kubilang, aku sudah tahu!” Alecia balas berteriak. “Bagaimana tidak kalau aku pernah menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri?!”
Alecia tampak kaget dengan ucapannya. Ia memalingkan wajah dari Dean yang tertegun. Keheningan yang menyusul sungguh sangat tidak nyaman.
“Kau pernah – bertemu dengan iblis sebelumnya?” tanya Dean hati-hati.
“Ya,” jawab Alecia datar, matanya menatap ke luar jendela.
“Si Mata Kuning juga?”
“Ya.”
Dean mengangguk. Sebenarnya ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi takut Alecia tersinggung. Ia baru saja akan mengajak Alecia berangkat, ketika gadis itu berkata datar, “mereka membunuh orangtua dan kakakku.”
Dean menatapnya, terkejut. “Apa?”
“Waktu aku lima tahun. Di Munich, rumah kami dulu. Mereka datang dan membunuh orangtua, lalu kakakku. Seorang pria bermata kuning berpapasan denganku, tapi ia tak menyentuhku. Ia ingin menyisakanku, mungkin. Untuk yang selanjutnya.”
Alecia menceritakannya sambil menghadap ke luar jendela, sehingga Dean tak melihat ekspresinya. Dean berusaha mencari tanggapan yang tepat, tapi otaknya tak memberi ide apa pun. Kemudian, sebelum lidahnya sempat terkontrol, ia malah menyeletuk, “ibuku juga ia bunuh waktu aku berumur empat tahun.”
Giliran Alecia tampak terkejut sekarang. Dean juga tak kalah kaget. Belum pernah, sekalipun dalam hidupnya, ia menceritakan masa lalu itu pada orang asing. Apalagi seorang gadis seperti Alecia. Kenapa tiba-tiba saja.....? Entahlah. Ada perasaan aneh menyerangnya ketika mendengar cerita tadi. Rasa yang membuat Dean terdorong untuk membagi pengalaman pahit itu. Sepi. Sedih. Takut. Itulah yang Dean rasakan di hari kematian ibunya, dan Alecia juga. Pasti. Mereka senasib. Bahkan Alecia lebih tragis – ia kehilangan seluruh keluarganya. Mungkin inilah yang membuat Dean bisa terbuka. Karena mereka senasib.
“Aku melihat hal yang sangat mengerikan terjadi pada ibuku. Sejak itulah aku memutuskan menjadi pemburu – demi ibuku, dan Sam.”
Alecia tersenyum simpul. “Manis sekali. Kau pasti sangat sayang padanya,” ujarnya dengan nada sedikit mencemooh.
“Kau juga. Pasti sangat menyayangi Benyth.”
“Cuma dia yang kupunya. Yang mau menerimaku apa adanya. Aku tak mau kehilangan dia.”
“Begitu pula aku,” kata Dean, “mungkin kita punya lebih banyak persamaan daripada yang bisa dibayangkan.”
“Mungkin,” kata Alecia, dan sekilas – hanya sekilas, Dean melihatnya tersenyum. Bukan senyum sinis atau mengejek, tapi tulus. Dan saat Alecia mulai menjalankan mobilnya, Dean yakin ia telah menaklukkan gadis itu.
* *



VII - Revelation

“Halo? Sam? Di mana kau sekarang?....... apa? Yang benar saja! Dasar bocah tolol.... Hmm.. oke. Tunggu sebentar. Alecia,” Dean berpaling dari telepon.
“Apa?” tanya Alecia tanpa menoleh.
“Jason dan Sam kesasar.”
“Yang benar saja!”
“Yeah,” kata Dean, kemudian kembali ke telepon, “Alecia bilang, ‘yang benar saja!’”
Sam – tepatnya Sam dengan suara Jason, terdengar marah-marah.
“Oke, oke. Tenang,” kata Dean, menyeringai. “Sekarang akan kutanya dengan benar. Al...”
“Apa lagi?”
“Jason dan Sam minta pendapatmu.” Dean memencet tombol loudspeaker di handphone-nya.
“Katakan pada Jason, dia idiot goblok buta peta yang....”
“Maksudku, beritahu jalannya, Al!” salak Jason dari seberang.
Alecia mendengus keras. “Tempelkan handphonenya,” pintanya pada Dean, yang langsung menempelkan handphone ke telinga kanan Alecia. “Oke Tuan Imbesil, di mana kau sekarang?”
“Kubalas kau nanti, Al,” rutuk Jason,“ bukan salahku kalau kesasar, peta darimu itu yang....”
“Tutup teleponnya Dean,” kata Alecia datar.
“Oke,” jawab Dean, sengaja dikeraskan agar Jason jelas mendengar.
“Oke, oke! S**t... brengsek kalian... aku ada di 31st Rooten Avenue!” seru Jason senewen. Dean menempelkan kembali handphonenya ke telinga Alecia, terkekeh. Senang rasanya mendengar pemuda sok itu panik.
“Rooten Avenue,” Alecia menekan tombol pada komputer penunjuk arah di sampingnya. Dean mengagumi kemampuannya melakukan tiga hal sekaligus: mencari lokasi di peta komputer sambil menyetir dan menggerutu pada Jason.
“Baiklah. Kau jalan sampai perempatan pertama, belok kanan, lurus sampai ada lampu merah, belok kanan lagi sekitar satu kilometer, di pertigaan yang di depan High School baru kau belok kiri, lalu di jalan dekat Body Shop kau masuk dan lurus terus.”
“Errr.... masuk ke Body Shop?”
“KE JALAN DEKAT BODY SHOP, IDIOT!” raung Alecia tak tanggung-tanggung. Terdengar decit rem dari handphone. Dean terpingkal-pingkal.
* *
Dean berdiri di depan orangtua berjenggot itu, berusaha menyabarkan diri. Alot sekali meminta informasi dari penjaga Red Star yang satu ini. Dean telah menghabiskan dua ratus poundsterling hanya untuk mengetahui bahwa pria itu melihat cewek dengan ciri-ciri seperti Benyth semalam.
“Ayolah man, masa kau tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu?” tanya Dean frustasi.
“Bagaimana ya... aku sedang mabuk malam itu jadi...”
Dean menyodorkan lima puluh pound di atas meja bar.
“Hmm... kurasa dia datang bersama seorang pemuda... ya... lalu dia ke toilet, mungkin....”
“Lalu? Apa pemuda itu melakukan sesuatu?”
“Oh, semua pemuda melakukan sesuatu pada cewek-cewek yang datang ke sini, Nak.”
“Bukan itu maksudku!”
“Jadi?” kuap si jenggot, “banyak pasangan datang ke sini tiap malam, kau pikir aku mengawasi mereka semua, heh? Kalau sudah tak ada urusan, pergilah kalian. Aku mau tidur.”
Dean menggerung pelan menahan marah. Jelas sekali yang dimaksudkan pria itu dengan ‘tak ada urusan’ adalah ‘tak ada uang lagi untuk menyuap’. Suara pria itu mahal sekali, sehingga untuk mendapat info lengkap tentang Benyth dan Clark – menurut kalkulasi Dean – bisa menguras hingga ribuan pound.
“Jason dan Sam sedang menuju kemari,” Alecia memberitahu. Ia memang habis menelepon mereka, mengabari bahwa Red Star-nya-lah yang disinggahi Clark dan Benyth semalam. “Bagaimana dengan Benyth dan Clark?”
“Tanya saja pada teman kita ini,” sungut Dean. Si pria menguap lagi, tampangnya tak peduli.
Alecia mengeluarkan dompet dari saku jaketnya. Dean dan pria berjengot melotot ketika gadis itu menarik uang ratusan pound. “Nah? Katakan pada kami ke mana mereka pergi. Sekarang,” katanya tajam. Pria berjenggot mengambil uangnya, menghitungnya sambil menjilat bibir.
“Well, mereka berdua meninggalkan bar ini segera setelah si cewek kembali dari toilet – mereka bahkan tak pesan minum. Aku sempat melihat mereka pergi naik BMW merah.”
“Ke mana?” tanya Alecia agresif.
“Sayangnya aku lupa,” kata Si Jenggot Keparat. Ia benar-benar tak mau menyia-nyiakan kesempatan memoroti Alecia.
Alecia memutar bola mata, tangannya kembali meraba ke balik jaket. Dean sampai bertanya-tanya, kenapa cewek ini bodoh sekali? Tapi ternyata, alih-alih mengeluarkan dompet, ia malah menodongkan pistolnya.
“Oh great. Al...” erang Dean.
“Katakan padaku, ke mana mereka?” kata Alecia, menganggap Dean angin lalu. Dean langsung tahu, Alecia tidak ragu menembak kepala si jenggot. Terlihat dari pandangan matanya.
Tampaknya si jenggot juga tahu, karena ia mengangkat dua tangan dan berkata panik, “oke! Akan kuberitahu. Turunkan benda itu dulu!”
Gadis itu tak bergeming, hanya mempersadis pandangan yang membuat si jenggot makin menciut. Akhirnya ia bercerita, suaranya gemetar ketakutan. Pengecut, batin Dean.
“Dua orang itu, mereka menuju Gladstone, 500 mil ke selatan. Aku tak mungkin salah – hanya ada satu jalan dari sini, lewat tol setelah jembatan.”
Alecia diam beberapa saat untuk menilai kejujuran si jenggot. Puas, ia menurunkan pistol dan melangkah ke pintu keluar. “Ayo kita pergi,” katanya pada Dean.
“Oke, Bonnie,” kata Dean sambil mencibir.
*
“Jason. Aku sudah tahu ke mana Benyth dan keparat busuk itu. Di mana pun kau berada sekarang, cari jalan paling cepat menuju Gladstone. Gladstone, dasar goblok, bukan Blackstone! Ya, dan jangan lupa cari di stadion-stadion, oke? Kuhubungi lagi nanti.” Alecia memutus sambungan, lalu menoleh pada Dean. “Sudah ketemu stadionnya?”
“Err....” Dean mengaruk kepala. Komputer mobil ini bikin bingung. Dia boleh saja pemburu profesional, tapi untuk urusan elektronik, nyerah deh. Hal semacam ini biasanya Sam yang mengurus, karena jika ia memegang laptop, secara misterius benda itu langsung eror.
Alecia meminggirkan mobil ke bahu jalan. “Sini biar aku yang cari. Kau nyetir saja, oke?” katanya tak sabar. Dean menurut saja. Mereka keluar mobil dan ganti posisi. Belum sepuluh menit Dean menyetir, Alecia sudah menemukan targetnya.
“Gladstone punya tiga stadion – cukup banyak untuk ukuran kota sekecil itu – dan ketiganya berjauhan. Yang paling dekat dengan kita, Mouthway Mild, terletak sepuluh kilometer di barat gerbang kota. Kita langsung ke sana,” jelas Alecia. Dean mengangguk, tanpa berkata-kata segera menambah kecepatan hingga 120 mil/jam.
“Apa kau gila?” sentak Alecia kaget, mencengkeram seatbelt-nya erat-erat.
“Kurasa tidak ada orang waras di mobil ini, Nona-yang-Menodong-Pemilik-Bar,” jawab Dean, “untuk ukuran upper class girl dan seorang atlet tembak, kau sangat ceroboh, tahu.”
Alecia cemberut.
*
“Bisa tidak kau jalan lebih cepat lagi?”
“Ini juga sudah cepat!” Sam menunjuk speedometer dengan senewen, “nyaris 100 mil/jam! Berhentilah mengeluh. Tadi waktu kau yang nyetir, kita nyasar terus. Masih untung kalau kita bisa sampai Gladstone sebelum malam.”
Jason menggerundel. Sebal rasanya dimarahi orang, teristimewa karena orang itu berwajah dirinya. Rasanya seperti dimarahi diri sendiri. Jason kembali menyibukkan diri dengan laptop dan tampilan peta digital di dalamnya. Alecia sudah mengabari bahwa ia akan pergi ke Mouthway Mild. Kini Jason dan Sam tengah menuju Gladstone Robust yang terletak di sisi lain kota. Dua kelompok itu setuju untuk bertemu di stadion terakhir, United Flame. Memang nyaris mustahil menemukan Benyth di tiga tempat itu. Mungkin saja Clark membawanya ke stadion lain di luar kota yang kebetulan searah dengan Gladstone. Namun Jason, seperti halnya Alecia, menolak untuk memikirkan kemungkinan terburuk lebih lanjut.
“Clark keparat. Ke mana dia membawa Benyth?” gumam Jason untuk kesekian kalinya.
Sam tak menanggapi, tetap konsentrasi dengan tugasnya. Tapi mata batinnya seolah menjawab pertanyaan Jason. Tiba-tiba pemandangan di hadapannya berubah. Bukan kaca mobil dengan jalan tol lenggang di bagian luar. Sam melihat seorang pemuda tengah menyeret seorang gadis dengan paksa ke bagunan besar yang gelap. Gadis itu menangis, tapi tak seorang pun mendengar. Daerah sekitar mereka begitu sunyi – bahkan akhirnya Sam menyadari, tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar situ. Hanya tanah lapang dengan rumput tinggi. Sam mendongak, berusaha mengetahui nama tempat itu. Itu....
“Sam, awas!”
Kaca mobil itu kembali. Hanya kali ini, bukan jalan tol yang Sam lihat di luarnya, melainkan pagar pembatas jalan. Sam dan Jason – yang secara refleks meraih kemudi – memutarnya seratus delapan puluh derajat. Jaguar itu berputar bagai gasing disertai bunyi decit yang memekakkan, dan baru berhenti saat moncongnya menabrak rambu jalan hingga penyok. Sam dan Jason tersentak ke depan. Seatbelt menyelamatkan nyawa mereka.
“You idiot! Hampir saja kita mati! Kau ini ngelamun atau apa sih?” semprot Jason.
“Vein,” gumam Sam.
“Huh?” Jason mendekatkan tangan di telinga, “kau bilang sesuatu?”
“Jason, mereka tidak ada di ketiga stadion itu! Mereka di tempat lain – stadion tua, yang dikelilingi tanah lapang berumput tinggi, dan namanya mengandung kata ‘Vein’!” cerocos Sam.
Jason mengangkat satu alis. “Darimana kau tahu?” tanyanya curiga.
“Aku melihatnya!”
“I see.” Jason mengangguk bego. Baru beberapa detik kemudian, otaknya benar-benar bereaksi. “Kau melihatnya?! Bagaimana mungkin?”
“Entahlah – semacam penglihatan, kurasa,” kata Sam, muak sendiri melihat tampangnya yang dibuat nampak tolol oleh Jason. “Sebaiknya kau segera mencari lokasi tempat itu, dan beritahu Alecia. Kita sudah membuang banyak waktu.”
Dengan wajah penuh ragu, Jason mengikuti instruksi Sam. Dicarinya stadion tua bernama apa-Vein, yang dibangun di sekitar tanah lapang dan terletak di dekat Gladstone. Tak perlu menunggu lama. Dengan informasi detil dari Sam, laptop Jason – yang terhubung jaringan internet pribadi – segera menyuplai data tentang satu tempat: Brookdale Vein. Stadion pertama Gladstone yang dibangun dekat desa Brookdale.
“Astaga. Tempat itu hanya beberapa mil dari Mouthway Mild!” Jason membaca lokasi stadion itu cermat-cermat. “Kita harus segera memberitahu Al!”
* *


VIII - Salvation

“Tetaplah di sini, Al. Biar aku yang masuk ke dalam.”
“Tidak, aku ikut denganmu.”
“Jason dan Sam akan segera sampai. Tugasmu adalah menunggu mereka di sini dan menjelaskan situasinya pada mereka, mengerti?”
“Jangan cari-cari alasan. Mereka tahu persis seperti apa situasinya, dan mereka akan menyusul kita ke dalam. Biarkan aku masuk, Dean. Aku harus membunuh iblis itu.”
“Itu tugasku, oke? Kau cukup menunggu di mobil ini. Aku akan membawa Benyth keluar dengan selamat.”
“Tidak. Aku akan masuk.”
“TETAP DI LUAR, AL!” perintah Dean.
“TIDAK MAU!” tolak Alecia tak kalah galak.
Dean menghela nafas. Cewek keras kepala ini benar-benar bikin pusing.
“Baiklah, ayo kita pergi,” kata Dean akhirnya. Alecia langsung membuka pintu mobil dan berjalan mendahului Dean ke stadion.
“Al, tunggu sebentar!” panggil Dean, “colt-ku jatuh di bawah jok! Bisa tolong ambilkan? Badanku tidak muat nih!”
Alecia menoleh, Dean mengangkat bahu pasrah. Alecia mendekatinya sambil bersungut-sungut. “Sekarang siapa yang ceroboh, heh? Minggir, biar kuambil!” ia masuk ke dalam mobil dan merangkak ke bawah jok. “Mana? Aku tak lihat colt-mu?”
“Lebih ke dalam mungkin, Al. Colt-ku berwarna hitam dengan gagang silver,” teriak Dean.
Alecia merangkak makin dalam. Seluruh tubuhnya masuk mobil sekarang. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting. Alecia melongok dari kolong susah payah. Dean tengah mengunci seluruh pintu mobil, mengurungnya di dalam.
“Dean! F*** you! Keluarkan aku dari sini!” gerung Alecia.
Dean menatapnya dari balik kaca. “sori Al. Saatnya profesional mengambil alih. Ini demi kebaikanmu sendiri.” Dan ia berlalu.
* *
“Jangan, kumohon... kau tak boleh melakukannya...” Benyth merintih ketakutan. Clark memojokkannya di tembok stadion, tangannya yang kuat menahan bahu Benyth hingga gadis itu tak bisa kemana-mana.
“Benarkah? Aku tak yakin...” bisik Clark sadis, mengeluarkan parang dari sakunya.
“Tolong, jangan...”
“Jangan khawatir. Ini tak akan sakit...” digoresnya pipi halus Benyth dengan mata parang. Darah mengalir pelan, bercampur dengan airmata. Clark mendekat dan menjilat cairan merah itu.
“Apa yang kau inginkan dariku?”
“Sudah kukatakan, bukan? Keabadian. Kekuatan. Semua yang kubutuhkan untuk menguasai dunia. Dan hanya darah suci dalam tubuhmu yang bisa memberikannya.” Clark menjilat bibirnya, menikmati rasa asin darah Benyth. “ketika darah sucimu itu menyentuh bibirku, aku akan menjadi penguasa. Aku tak akan melupakanmu, Benyth sayang. Semua itu berkat kau.”
“Kau gila!”
“Kalau itu membuatmu bersedia, tak masalah disebut be–”
Clark tak melanjutkan kalimatnya. Ia tumbang bersamaan dengan ledakan colt. Benyth menjerit.
“Benyth!” si penembak berlari menghampiri dan menarik tangannya. “Ayo pergi dari sini!”
Tanpa pikir panjang Benyth mengikutinya. Sekarang bukan waktunya mempermasalahkan siapa orang itu. Yang penting ia selamat dari Clark. Namun baru setengah jalan melintasi lapangan berumput, Clark tiba-tiba muncul di hadapan mereka dan dengan kekuatan misterius menghempaskan kedua orang itu ke dinding seberang stadion.
Benyth berusaha melepaskan diri, tapi tak bisa. Tubuhnya tak mau bergerak sama sekali, seolah tembok itu mencengkeramnya kuat-kuat.
Clark mendekatinya. “Tak ada yang bisa lepas dariku Benyth,” katanya sambil menyeringai. Mendadak warna matanya berubah. Dari biru gelap menjadi kuning. Benyth, untuk kesekian kalinya hari itu, hanya bisa menjerit ngeri.
Kemudian Clark berpaling pada Dean, yang menempel satu meter di samping kiri Benyth. “Wah, wah, coba lihat. Pemburu Amerika kita berkunjung ke London. Apa kau ingin berlibur sebelum kematianmu, Dean?” cemoohnya.
“Go to the hell, you B***h,” geram Dean.
“Uh-oh, kasar sekali,” kata Clark, pura-pura terkejut. “Jangan bicara begitu pada calon pemimpinmu, Dean.”
“Sampai kapan pun aku tak akan pernah sudi bergabung dengan kalian!”
“Well, harus kukatakan, awalnya aku pun agak enggan memiliki anak buah sepertimu, terutama karena kau telah membunuh beberapa kawanku,” kata Clark pelan, “tapi setelah dipikir-pikir, kapan lagi aku akan dapat pemburu sebagai bagian dari kami? Terima kasih karena telah membuat perjanjian itu, Dean.”
“Aku-tidak-akan-bergabung-dengan-kalian!” gertak Dean.
“Biar kutebak. Kau berharap bisa mencurangi perjanjian itu, kan?” Clark terkekeh, “kau benar-benar polos, Dean. Tapi yah, untuk berjaga-jaga, bagaimana kalau kuakhiri waktumu sekarang?” kata Clark, mengarahkan parangnya ke dada Dean.
Parang itu terpelanting tepat sebelum menyentuhnya. Clark menatap Benyth, murka. “Ingin membantu temanmu, ya?” katanya, mencengkeram pipi Benyth.
“B-bukan aku!” kata Benyth tergagap.
“Bukan kau? Siapa lagi di sini yang – argh!” Clark memegangi lengannya yang berdarah. Ia menoleh. Parangnya melayang-layang dengan posisi siap serang. Sebelum Clark memahami apa yang terjadi, benda tajam itu sudah menyerang lagi. Kali ini menggores pipi kanannya.
Peluru berdesing dari arah podium selatan, mengenai dada kiri Clark, tapi tak membuatnya tumbang. Kemudian datang lagi dari arah utara, timur, barat. Seolah ada belasan pemburu bekerja sama menyerang Clark. Namun dengan kekuatannya, Clark membuat bijih panas itu berjatuhan di tanah sebelum menyentuh kulitnya.
Sambil meraung murka, Clark mengeluarkan kekuatan yang membuat stadion bergetar saking dahsyatnya. Kursi-kursi penonton berderak keras. Dari salah satu sisi podium, terlempar seorang gadis. Ia menjerit ketika terjun bebas menuju lapangan. Tapi tepat sebelum mendarat, mendadak tubuhnya terhenti, melayang-layang tiga senti di udara. Lalu ia kembali terpental, kali ini ke tembok yang sama dengan Benyth dan Dean.
Clark berjalan mendekat. “Jadi begitu rupanya,” kata Clark penuh pemahaman, “bukan Benyth yang dianugerahi darah itu, tapi kau. Alecia Lehane – Licy. Kenapa aku tak menyadarinya?” Ia mengelus rambut pirang Alecia. “Padahal kau memiliki mata dan rambut yang sama dengan kakakmu – dan juga mewarisi kebodohannya. Tidakkah kau ingat bahwa aku tidak mempan peluru, anak manis?”
“Kau– ” geram Alecia, teringat iblis yang ditembak kakaknya dulu. “Kau wanita keparat itu!”
“Oh ya, tapi itu sudah lamaaa sekali. Sekarang aku adalah Clark.” Clark menyeringai.
Alecia meludahi wajahnya.
“Astaga, astaga. Kasar sekali,” kata Clark pelan, mengusap wajahnya. “Tidakkah orangtuamu mengajarimu sopan santun?” Kemudian ekspresi wajahnya berubah. “Oh maaf, aku lupa. Kau memang tidak punya orangtua, ya kan Licy?”
Alecia berteriak marah, berusaha melepaskan tangan untuk menghajar iblis di hadapannya. Usaha yang sia-sia, tentu.
“Tenang saja Licy. Sebentar lagi kau akan bertemu kembali dengan keluargamu,” kata Clark, mengangkat parang untuk ketiga kalinya malam ini. “Bye-bye, Licy.”
“Benyth!”
Mereka berempat menoleh ke pintu masuk lapangan. Jason dan Sam berlari ke arah mereka, mengacungkan senapan.
“Oh great. Kenapa muncul semencolok itu, Sam?” gumam Dean putus asa.
“Wah, pengganggu lagi rupanya,” kata Clark pelan.
“Lepaskan mereka,” kata Sam, menodongkan senapannya.
“Halo Sam,” sapa Clark, “kau menikmati tubuh barumu, eh? Dan bagaimana denganmu, tuan muda Teague?”
“Tidak juga,” jawab Jason, “tapi sebentar lagi kau akan mengembalikan kami seperti semula.”
“Oh ya? Kenapa begitu yakin, tuan Teague?” cemooh Clark.
“Karena ini!” seru Sam, mengguyurkan sebotol air suci.
“Dan ini!” Jason menumpahkan garam ke atas Clark yang berlutut.
Clark berteriak kesakitan, tubuhnya berasap. Sebelum meminum darah Alecia, ia belum kebal terhadap air suci dan garam. Fokusnya terpecah. Dean, Alecia, dan Benyth terlepas dari dinding.
“Semuanya, lari!”
Alecia dan Benyth mengikuti Jason keluar dari stadion, tapi tidak dengan Dean. Ia malah mengambil colt dari balik jaket dan mengacungkannya pada Clark.
“Dean, sedang apa kau? Ayo pergi!” kata Sam, menarik lengan Dean.
“Apa maksudmu? Kita harus menghabisi iblis ini Sam!”
“Sudahlah, ayo ikut saja!” Sam menyeret kakaknya menyusul tiga orang di depan.
* *
Clark menggerung marah. Lima menit ia tersiksa oleh benda-benda keparat itu, membuatnya kehilangan semua mangsanya. Ia bergegas mengejar keluar stadion, berharap anak-anak itu masih cukup dekat. Kali ini ia bersumpah akan menghabisi mereka, terutama Alecia.
Benar saja. Sampai di luar, kelima orang itu bahkan belum mencapai mobil mereka. Dean dan Sam langsung mengacungkan senapan begitu melihatnya, sementara ketiga mahasiswa itu terus berlari ke mobil.
“Selangkah lagi kau mendekat, aku akan mengirimmu ke neraka,” ancam Dean sambil mengokang senapannya.
“Minggir Dean. aku tak ada urusan denganmu,” kata Clark, “yang kubutuhkan saat ini hanya Alecia. Kalian akan kuurus nanti.” Dan mendadak ia menghilang, muncul lagi tepat di hadapan Alecia dan kawan-kawan.
“Waktu bermain sudah selesai Al,” ujar Clark, mencengkeram tangan Alecia.
“Lepaskan aku!” seru Alecia, memegang tangan Clark dengan tangan kirinya yang bebas.
Seketika Clark merasakan panas luar biasa di bagian yang disentuh gadis itu. Ia melihat sebentuk jimat dari perak berada di antara kulitnya dan Alecia. Jimat Penangkal Iblis. Pasti Teague sial itu yang memberinya. Clark melepaskan tangan Alecia, yang tak menyia-nyiakan kesempatan emas. Gadis itu segera kabur menyusul Benyth dan Jason.
“Kau tak bisa lari lagi, Al!” seru Clark, bermaksud mengejar Alecia.
Tapi tunggu. Ada yang aneh. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Seolah gravitasi di sekelilingnya begitu kuat hingga ia terus menempel di tempat itu. Apa yang terjadi?
“Sayang sekali, tapi kau-lah yang tak bisa lari lagi Clark,” kata Dean dari belakangnya.
Clark memandang sekeliling dan akhirnya menyadari. Ia berada di tengah Lingkaran Solomon – Lingkaran Pengunci Iblis – yang digambar di atas tanah. Tadi Alecia pasti sengaja membiarkan dirinya tertangkap agar Clark masuk perangkap.
“Dasar bocah sial!” maki Clark pada Alecia yang hanya beberapa meter di depannya. Ia menoleh pada Dean dan membentak, “kau akan membayar semua ini, Dean!”
Pria itu hanya tersenyum sinis. “Ayo kita selesaikan ini, Sam. Lebih cepat lebih baik.”
“Oke,” jawab Sam, dan ia mulai merapalkan kalimat itu. Doa Kuno untuk mengusir iblis dari tubuh seseorang. Sam sudah hafal Doa itu sekarang.
Seiring meluncurnya kata-kata dari mulut Sam, iblis dalam tubuh Clark makin memberontak. Ia berteriak dan meraung dalam suara yang membuat bulu kuduk Alecia, Benyth dan Jason berdiri. Kemudian, dari mulut Clark, keluarlah asap hitam yang menakutkan, lebih gelap dari langit malam. Asap hitam itu berpusar di atas Clark, dan tepat sebelum ia menghilang, Dean menembaknya dengan Colt. Suara melengking memecah malam ketika peluru menembusnya.
Lalu sunyi.
Kesunyian yang mendadak itu membuat telinga mereka berlima berdenging. Clark ambruk dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Dean memeriksa pemuda itu dan memanggil ambulans. Sementara Sam mendekati Alecia, Benyth dan Jason.
“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya.
“Oh Jason!” seru Benyth, menghambur ke pelukan Sam. Kedua temannya lupa menjelaskan bahwa pacarnya itu tengah bertukar tubuh dengan Sam.
“Jason, kau hebat sekali! Kau memang pahlawanku!” kata Benyth dengan mata berbinar.
“Err...” Sam tidak tahu harus berkata apa. Ia bingung antara meruntuhkan kekaguman Benyth (dan harga diri Jason) dengan memberitahu hal yang sebenarnya, atau tetap diam dan menghadapi kecemburuan Jason. Dua-duanya sama buruknya.
“Aku tahu aku tak pernah salah menilaimu,” kata Benyth, mengalungkan kedua lengan ke leher Sam dengan manja, “aku tahu kau selalu mencintaiku, Jason.”
Dan sebelum Sam sempat bereaksi, sebelum Jason sempat menjauhkan pacarnya dari cowok itu, Benyth mencium seseorang yang ia kira pacarnya. Beruntung, saaat itu juga kutukan iblis berakhir. Jason kembali ke tubuhnya dan Sam tidak pernah merasakan bibir Benyth.
“Thanks God,” gumam Jason ketika Benyth selesai.
“Kenapa?”
“Tidak. Hanya bersyukur karena Tuhan tidak membiarkan orang lain mendapatkan ciumanmu,” kata Jason sambil tersenyum, dan menghindari pertanyaan Benyth dengan balas menciumnya.
“Dunia milik berdua,” kata Alecia, memutar bola mata.
* * *



IX - See You Again

Alecia berdiri di depan pintu bengkel, tangan terlipat di depan dada. Ia sedang dongkol pada montir bego yang tidak juga memperbaiki Jeep-nya. Inilah akibatnya mereparasi di tempat baru. Kenapa pemilik bengkel langganannya pakai berlibur ke Hawaii segala sih?
“Oi, Al!”
Alecia menoleh. “Hei Dean!” sapanya pada si pemanggil.
“Kenapa tampangmu menekuk begitu?” tanya Dean, nyengir.
“Cuma kesal pada orang tolol yang tidak juga mengganti kaca mobilku,” dengus Alecia, “gara-gara itu aku harus kemana-mana naik taksi. Benar-benar ribet.”
“Yeah, kau juga sih yang salah. Pakai nekat memecah kaca depan mobil segala,” cibir Dean.
“Maaf? Memang siapa yang mengurungku dalam mobil? Dan kuingatkan, seandainya aku tidak datang ke stadion, iblis gila itu sudah menancapkan parang ke dadamu, tahu!” Alecia menuding dada Dean, melotot marah.
Dean mengembangkan senyum dan menurunkan tangan Alecia. “Benar. Karena itu, aku memutuskan untuk mengucapkan terima kasih.”
“Apa? Aku tidak dengar!” tantang Alecia.
“Terima-kasih-karena-telah-menyelamatkanku,” kata Dean sambil memutar bola mata. “Miss Lehane,” ia menambahkan sambil nyengir jahil.
“You’re welcome, Coach Reed,” kata Alecia dengan cengiran tak kalah lebar sambil menonjok bahu Dean. Keduanya terkekeh mengingat perjumpaan pertama mereka.
“Omong-omong, mana Jason dan Benyth?”
Tampang Alecia yang tadinya mulai cerah kembali memberengut. “Mereka sedang menjalani masa-awal-jadian-periode-kedua di....well, tempat-yang-begitu-istimewa-bagi-mereka-berdua-sampai-aku-tidak-diberitahu,” gerutunya. Ia jadi jengkel karena Benyth ternyata lebih memilih kencan dua hari tiga malam dengan Jason daripada pesta menginap antar sahabat di flat-nya.
“Tenang saja, sebentar lagi toh mereka bertengkar, dan kau bisa menghajar Jason. Oh ya, aku titip satu tonjokan di bibir sok tahunya, kalau kau tak keberatan,” pinta Dean.
“Dengan senang hati,” seringai Alecia. “Dan di mana Sam?”
“Dia sedang mencari tiket.”
“Oh,” kata Alecia, jelas sekali terkejut dengan jawaban Dean. “Jadi err... kalian akan kembali ke Amerika?”
“Yep. Pekerjaan sudah selesai. Waktunya pulang dan mengurus iblis di kampung halaman.”
“Kapan kalian berangkat?”
“Secepatnya. Mungkin besok, malah kalau beruntung – atau dalam hal ini, kesialanku – kami akan terbang malam ini.”
“Apa?!” sentak Alecia sampai Dean terlonjak. “Mak... maksudku, kenapa secepat itu? Apa tidak sebaiknya kalian tinggal satu-dua minggu lagi? Yah, eng...ada banyak tempat yang belum kalian kunjungi, kan? Aku bisa mengantar kalian.”
“Kami tidak kemari untuk berwisata Al,” jelas Dean, tersenyum minta maaf.
“Jadi kalian benar-benar akan pergi?” tanya Alecia, tak bisa menyembunyikan kekecewaan dalam suaranya.
Dean menatap gadis di hadapannya. Di luar dugaan, Alecia yang kuat itu bisa sangat naif dalam beberapa hal. Diam-diam Dean bangga karena tahu, baru dialah yang bisa memunculkan raut memelas di wajah Alecia. Cowok pertama yang menyentuh hatinya. Dia memang penakluk sejati.
“Mungkin lain kali kami akan berkunjung,” Dean berbohong untuk menyenangkan Alecia.
Mata Alecia berbinar. “Benarkah? Bagaimana kalau musim panas tahun depan?” tanyanya. Kemudian pipinya bersemu merah dan ia memperbaiki kalimatnya, “di musim panas biasanya banyak festival. Datanglah sebagai turis, bukan sebagai pemburu. Kita berlima bisa jalan-jalan bersama.”
Musim panas. Dua bulan setelah waktu Dean habis. Ia bertanya-tanya apakah Alecia akan kecewa kalau Dean tidak datang – karena dia sudah mati. Setelah memutuskan jawabannya adalah ya, Alecia pasti kecewa, dia berkata, “entahlah. Banyak hal tak terduga yang terjadi, kau tahu maksudku?”
“Setelah melihat iblis malam itu, ya, aku tahu,” kata Alecia. “Tapi kau bisa mengatur dirimu sendiri untuk datang kemari. Kalian tidak akan terlibat dalam semua kejadian tak terduga itu, kan?”
“Kita lihat saja nanti. Begini saja. Kalau kami datang, aku akan mengabari. Deal?”
“Deal,” jawab Alecia cerah, lalu memberikan alamat e-mailnya.
*
Bandara Internasional London. Dean duduk di kursi tunggu, lagi-lagi berusaha menenangkan diri. Cukup sulit karena ia baru saja mengalami pengalaman traumatis: ketika tak sengaja melihat iklan pacuan kuda, Sam tiba-tiba ingat kalau mereka pernah bertaruh tentang siapa yang kerasukan, Jason atau Clark, dan karena ternyata orang itu adalah Clark, maka Dean harus mengembalikan seratus dolar milik Sam sekaligus membayar seratus dolar atas kekalahannya. Peristiwa yang membuat harga diri Dean terinjak-injak hanya dengan mengingatnya.
“Mau kopi?”
Dean mengangkat kepala dan mendapati Sam mengulurkan segelas kopi Starbucks, sementara Alecia berdiri di sampingnya, menyeruput kopi.
“Al, sedang apa kau di sini?” tanya Dean heran sambil menerima kopinya.
“Aku tak ada kerjaan di rumah, jadi aku ke sini saja mengantar kepulangan kalian,” jawabnya penuh gengsi. “Kebetulan sekali, aku bertemu Sam di Starbucks.”
Sebenarnya Dean dan Sam tahu ia pasti sengaja meluangkan waktu, bukan sekedar kurang kerjaan, tapi mereka menghormati Alecia dengan berkata, “Trims. Kau baik sekali.”
Tak lama kemudian, pengumuman take-off yang ibarat vonis hukum gantung bagi Dean itu berkumandang. Dean dan Sam mengucapkan selamat tinggal pada Alecia dan bergabung dengan penumpang lain menuju jalur penumpang.
“Dia akan mengejar dan memanggilku dalam hitungan ketiga,” bisik Dean pada Sam. “Satu... Dua... Ti...”
“Dean!”
Dean nyengir, ekspresinya berkata tuh-kan-apa-kubilang. Sam memutar bola mata. Ia berhenti untuk menunggu kakaknya yang sedang kembali menemui Alecia.
“Ya?” tanya Dean pura-pura polos.
“Errr... aku... eee...” Alecia memilin-milin rambutnya dengan grogi. Ia jadi mirip sekali Benyth. Alecia menarik nafas dalam-dalam, dan tiba-tiba mencium bibir Dean. Bukan ciuman seperti yang biasa diberikan Benyth pada Jason, bahkan bisa dibilang hanya kecupan singkat – ia cuma menempelkan bibirnya sekilas – tapi tetap saja membuat Sam dan Dean terkaget-kaget. Alecia Lehane adalah cewek terakhir yang bisa dibayangkan mereka berdua untuk mencium cowok di bandara.
“I can’t wait to see you again, Dean,” katanya kemudian, sambil tersenyum malu-malu.
“Yeah,” kata Dean, masih takjub dengan apa yang terjadi. “Yeah, see you Al.” Dan ia berbalik menghampiri adiknya, melambai pada Alecia. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan ke pesawat.
“Boleh juga. Bisa dibilang, itu prestasi terbesarmu,” komentar Sam ketika mereka duduk di pesawat. Ia tak berani berkomentar di bandara, karena entah kenapa ia punya perasaan Alecia masih bisa mendengarnya.
“Aku tahu,” jawab Dean, nyengir senang. Nampaknya ia akan menikmati perjalanan dengan pesawat kali ini.

TAMAT